PERKEMBANGAN
PERPAJAKAN PADA ZAMAN KERAJAAN DAN PENJAJAHAN DI INDONESIA
OLEH :
NI LUH JUNIA PURNAMI
NIM : 1417051041
AKUNTANSI PROGRAM S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
TAHUN AJARAN 2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan,
tetapi hanya merupakan pemberian suka rela atau upeti oleh rakyat kepada raja
dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap
serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan
dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu, upeti lama kelamaan berubah
dari kepentingan negara menjadi kepentingan rakyat, yang digunakan untuk
kepentingan umum seperti: pemeliharaan transportasi, pembuatan pertanian, pembangunan
sarana sosial dan lain lain. Pajak merupakan salah satu dari gejalah sosial
yang ada dalam Sebuah Negara, dalam hal ini pajak tidak mungkin ada tanpa
adanya masyarakat dalam sebuah negara. Masyarakat yang dimaksud disinitentunya
adalah masyarakat hukum atau gemeinschaft menurut istilah Ferdinand
Tinnies (1999). Pajak adalah kewajiban individu maupun organisasi dalam
berpartisipasi membantu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh
pemerintah.
Istilah Pajak baru muncul pada abad ke 19 di Pulau
Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris
tahun 1811 – 1816. Pada waktu itu diadakan pungutan landrente yang
diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan Gubernur yang diangkat oleh
Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813 dikeluarkanlah
Peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh
pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan,
keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan
pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan
membahas mengenai perkembangan perpajakan dari zaman kerajaan hingga zaman
penjajahan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
PERKEMBANGAN
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Perpajakan sesungguhnya
sudah dikenal sejak Zaman Nabi. Pajak di zaman Nabi disebut zakat.
Dalam surah At-Taubah ayat 103 s.d. 105 dijelaskan dengan “dengan tegas
menyuruh pungut zakat kepada orang-orang mukmin yang berkemampuan lalu
diberikan kepada fakir miskin. Fungsi zakat dalam hal ini untuk menghilangkan
kemiskinan. Di dalam surah ini juga dijelaskan “orang-orang yang enggan
membayar kewajibannya boleh diperangi”.
Pajak mulai
mengalami perkembangan dan merubah namanya menjadi upeti. Istilah upeti dikenal
ketika Indonesia mulai dijajah oleh Negara lain seperti Inggris dan Belanda. Selain
upeti, pada awal Republik Roma (509-27 SM) terdapat istilah lain, yaitu questor, sensor dll. Pajak di zaman Raja
bersifat memaksa. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu,
rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi,
ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.
Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi
yang dikembalikan kepada rakyat, Pajak pada zaman kerajaan memang sifatnya
hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis
karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya,
sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja
saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya
pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti
untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air,
membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan
dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan
cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu
aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur
keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat
diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya
akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia
sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit, dan
Pajang sudah mengenal bentuk pajak tanah dan pajak tidak langsung terhadap
barang dagangan. Pejabat kerajaan pemungut pajak tidak digaji oleh kerajaan,
maka sering kali mereka menerapkan pajak secara berlebihan. Upeti perorangan
ataupun kelompok orang diberikan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk
penghormatan dan tunduk patuh pada kekuasaan raja suatu wilayah di Indonesia
merupakan bentuk pajak pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia tumbuh. Upeti
tersebut berupa hasil bumi dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya
maka rakyat mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Di kerajaan
Mataram raja-raja sudah melaksanakan hidup swa-sembada dan otonom (Muh. Bkhrun
Effendi : 2006). Penyerahan tersebut lebih besar pada kepentingan ekonomi
daerah atau kerajaan, membiayai penyelenggaraan pemerintahaan setempat, dan
membiayai pertahanan dan kekuatan kerajaan.
Kemudian
VOC sebagai badan perdadangan menguasai wilayah Indonesia, tidak memungut pajak
di daerah kekuasaannya, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Tetapi
mengenakan Pajak usaha, Pajak Rumah, dan Pajak Kepala kepada pedagang Cina dan
pedagang lainnya. Selain itu, VOC memiliki monopoli penjualan candu, garam,
pemetikan sarang burung, dan lain-lain yang dijualnya pada pacht-pacht yang biasanya dipegang oleh kapiten (Onghokham, dalam Bakhrun Effendi). Menurut Levyson Norman,
Gubernur Jenderal Daendels juga mengadakan pemungutan pajak, menarik pajak dari
pintu gerbang dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi
(Siti Hatijah, dam Bakhrun Effendi).
Pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) menyeleggarakan
administrasi dan reorganisasi yang mengeluarkan banyak uang. Raffles mengadakan
pembaharuan sistem pajak yang dikenal dengan landrent stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh
dari Benggala, India.
Pada
masa penjajahan kolonial pajak merupakan hal yang dieksploitasi untuk
kepentingan penjajah. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan,
keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan
pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia. Pada masa penjajahan, penjajah lebih
menekankan pada fungsi budgeted yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan
pemerintah penjajah. Pada 1945 Indonesia mengunakan sistem pajak yang
menggunakan self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak
yang terutang. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan
di Indonesia dan perkembangannya akan dijelaskan berikut ini.
1.
Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan serta
Perkembangannya
Sejarah pajak bumi dan bangunan di
Indonesia dimulai dari pengenaan pajak tanah (land rent) oleh pemerintahan colonial Inggris yang dipimpin oleh
Thomas Stanford Raffless pada abad XIX, tepatnya pada tahun 1813 di pulau Jawa.
Raffles menentukan pajak ini pada individu bukan pada desa. Raffless membagi
tanah atas kelompok-kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan
pajaknya adalah rata-rata produksi per tahun untuk sawah(Tanah basah) dan
tegalan (tanah kering).
Dalam Atep Adya Barata (2005), Raffless
meniru sistem pajak tanah di India yang dikenal dengan tiga macam sistem
pemungutan land rent, yaitu :
1.
Sistem Zamindari atau Zamindarars yang berarti Landheer atau tuan tanah. Menurut system
ini para tuan tanah dikenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap.
Pengenaan tariff pajak dengan suatu jumlah yang tetap dikenal dengan istilah permanent settlement. System ini
dijalankan di Benggala dan di sekitar Barat laut India.
2.
Sistem Pateedari yang disebut juga Mauzawari.
Sistem
ini sebernarnya meniru system pajak bumi pemerintah Portugis di Goa.
Berdasarkan system ini, pajak bumi dikenakan kepada Desa yang dianggap sebagai
suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya
diserahkan kepada kepala Desa masing-masing. System ini diberlakukan di Punyab
dan distrik-distrik barat laut India.
3.
System Rayatwari.
Dalam system ini
pajak tanah atau bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah
berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh tiap-tiap
petani. System ini diberlakukan di Madras dan Bombai.
Dalam
pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga
dengan sistem pajak bumi atau Landrente.
Dalam usahanya untuk melaksanakan sistem sewa tanah ini Raffles berpagang pada
tiga azas, yaitu:
1.
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun
pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu
jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman
apa yang akan ditanam
2.
Pengawasan tertinggi langsung dilakukan oleh pemerintah
tanah atas dengan menarik pendapatan atas tanah- tanah dengan pendapatan dan
sewanya tanpa perantara Bupati- bupati, yang kerjanya selanjutnya bagi mereka
adalah terbatas pada pekerjaan- pekerjaan umum.
3.
Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara
langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat,
berdasarkan kontrak- kontrak untuk waktu yang terbatas.
Untuk menentukan besarnya pajak,
tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a. Kelas
1 yaitu kelas yang subur, dikenakan pajak dari setengah hasil bruto.
b. Kelas
II yaitu kelas tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil
bruto.
c. Kelas
III yaitu kelas tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
Dalil yang didasarkan
dasar adanya pemungutan pajak tanah menurut sejarah, adalah anggapan bahwa
semua tanah adalah milik raja (souvereign),
dan kepala Desa –kepala desa yang berada di bawah kekuasaan raja semuanya
dianggap sebagai penyawa (pachters). Karena
itu mereka harus membayar sewa tanah(land
rent) dengan aturan secara tetap kepada penguasa.
Sejalan dengan
kebijaksanaan kerja paksa (forced labour
policy) tahun 1854, dimulailah kodifikasi aturan-aturan tentang sewa tanah
(the codification of landrent regulation
1854). Dalam Azhari A. Samudra (2005) Tobias Soebekti mengemukakan, tanah
dikelompokkan menurut aturan yang berlaku termasuk yang diatur dalam Statute Books(Lembaga Negara) Tahun 1866
No. 219a dan 219b. pengelompokkan tanah didasarkan pada survey statistic
berdasarkan jumlah produksi nyata selama tiga tahun terakhir. Kemudian tahun
1896 adanya perluasan wilayah dan system menyebabkan dasar pengenaan land rent bukan pada desa maupun pada
individu, tetapi pada plot (tanah dibagi
menjadi kelompok tanah basah dan tanah kering). Survei tanah sampai dengan
pengelompokan tanah dalam beberapa kelas di setiap desa oleh tentara Hindia
Belanda dan kepala-kepala desa ini merupakan aturan pengodifikasian system
pajak apada akhir abad XIX. Pada masa penjajahan jepang 1942-1945, system pajak
tanah yang dilaksanakan Belanda sepenuhnya di ambil alih dan namanya diganti
menjadi pajak tanah.
2.
Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya
Di
Indonesia sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk
pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenous” Indonesians,
“foreign” Asians and Europeans). Pajak pendapatan bagi orang
Eropa (tax patent duty), dan untuk
orang Indonesia adalah pajak pendapatan yang disebut business tax.
Seluruh
orang Indonesia atau yang dianggap secara hokum menjadi orang Indonesia yang
ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan atau eceran baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk pihak lain merupakan subjek dari pajak ini. Yang
dikecualikan menurut Undang-undang business
tax adalah para petani dan buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala
desa dan pegawai pemerintahan. Tax patent
duty yang berlaku di Indonesia adalah pajak yang dikenakan terhadap
penghasilan yang diperoleh dari usaha. Pajak dikenakan terhadap pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan pertanian, manufaktur, kerajinan tangan, atau kegiatan
industry di Hindia Belanda. Memiliki tariff proporsional, yakni 2% dari
pendapatan. Pendapatan minimum tidak disebutkan dan biaya pengeluaran dari
rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak termasuk dalam perhitungan yang
dikenakan pajak. Pajak pendapatan untuk pertama kali dipungut di Indonesia
berdasarkan Ordonasi Pajak Pendapatan 1908 (Ordonantie
op de Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonasi ini diganti
dengan Ordonasi Pajak Pendapatan 1920.
Masa antara tahun 1920
sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ordonansi
PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of
1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan
(the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
2. Corporation tax
Ordinance of 1925 (ordonansi
pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah
badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
3. Personal Income
Tax Ordinance of 1932
(Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie
op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di
Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de
inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi
pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932
dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.
Ordonansi pajak
pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.
Rancangan ordonansi
tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan
diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Ordonansi pajak
pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting
(pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan),
lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama
ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh
Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena
mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak
atas pendapatan yang lebih sempurna.
Subjek Pajak Pendapatan
1932 adalah orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya
adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam ordonantie op
Inkomstenbelasting 1932.
Menyadari kekurangan
yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha
menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai
tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak
pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak
Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro,
SH dan Drs B. Usman.
Wages
Tax Ordonance of 1935
(ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para
majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn (bayar sesuai dengan upah yang diterima).
3.
Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya
Pajak perseroan (PPs)
berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan
dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang
sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan
yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak
pendapatan 1908 (ordonantie op de
Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku
terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan
dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya.
Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana
seperti “Landrent” dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang
Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri
Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu
suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan
yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan
asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak
pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi
pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang
memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya
jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai
problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan
ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua
ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam
ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali
dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op de Vennootschapsblasting 1925).
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan
menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970. Setelah masa Tax Reform
tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan
aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Di Indonesia,
sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi
Pajak Rumah Tangga,
2. Aturan
Bea Meterai,
3. Ordonansi
Bea Balik Nama,
4. Ordonansi
Pajak Kekayaan,
5. Ordonansi
Pajak Kendaraan Bermotor,
6. Ordonansi
Pajak Upah,
7. Ordonansi
Pajak Potong,
8. Ordonansi
Pajak Pendapatan,
9. Undang-undang
Pajak Radio,
Undang-undang Pajak Kemudian
diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU
Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU
No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU
No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU
No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU
No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara
MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan
mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu,
beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi
rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya
lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam
hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem
perpajakan yang semula official
assessment diubah menjadi self
assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a.
UU
No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b.
UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c.
UU
No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d.
UU
No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
e.
UU
No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas
kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang
perlu dengan undang-undang, yaitu:
a.
UU
No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b.
UU
No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c.
UU
No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d.
UU
No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
e.
Pembangunan
I;
f.
Undang-undang
Pajak Peredaran.
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa
undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang
yang sudah ada, yaitu:
a.
UU
No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b.
UU
No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c.
UU
No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d.
UU
No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e.
UU
No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.2.
PERKEMBANGAN PEMUNGUTAN PAJAK DI
INDONESIA
Pajak mulanya di bayar secara natura
yaitu hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil perkebunan, serta barang tambang
mulia, seperti emas dan perak. Selain itu, pajak juga dapat dibayar dengan
tenaga, yaitu dengan melakukan pekerjaan tanpa diberi imbalan. Kemudian sejalan
dengan perkembangan waktu, pajak dibayar dengan uang. Di seluruh dunia telah
mengakui bahwa pajak nerupakan sumber utama penerimaan Negara dan sebagai alat
mencapai tujuannya, walaupun tidak seluruh Negara di dunia mengandalkan penerimaan
Negara dari sector pajak. Ada beberapa Negara yang memiliki potensi sumber daya
alam negaranya sebagai penerimaan yang utama.
Sejak zaman sebelum masehi pajak
telah dipungut oleh penguasa/raja suatu daerah untuk kepentingan raja. Setiap
Negara atau daerah telah mengakui betapa pentingnya penghimpunan dana rakyat
baik itu untuk raja dengan tidak memperhatikan rakyat atau untuk kesejahteraan
rakyatnya. Dengan hanya mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan
sebagian kekayaannya, dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak
mencapai target yang diharapkan. Maka bentuk iuran kepada penguasa tersebut
merupakan suatu paksaan, yang tentunya ada yang pro ada yang kontra. Penentuan
siapa yang harus membayar pajak, bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa
besar tariff pajak yang dikenakan, ditentukan oleh keinginan penguasa semata.
Pada akhirnya beban pajak yang harus dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan
kesewenangannya menentukan jumlah pajak sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi
yang dibutuhkan.
Di Indonesia tidak luput juga
kesewenangan-wenangan dari penjajah. Pemerintah kolonial Inggris yang menjajah
Indonesia di bawah Thomas Stanmford Raffles menerapkan kesewenangan pemungutan
pajak dengan land rent (1813).
Pemerintah kolonial Belanda juga melanjutkan kesewenangan
dalam pemungutan pajak sehingga makin menyebabkan kesengsaraan rakyat
Indonesia. Pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia benar-benar hanya
digunakan untuk mengisi kas pemerintahan kolonial.
Kesewenangan di atas merupakan suatu tindakan yang hanya
didasarkan dari aturan dan keinginan penguasa semata. Sebab zaman dahulu raja
dan penjajah adalah sosok yang harus dipatuhi dan diikuti kehendaknya. Kalau
tidak, maka kekerasan dan siksaan yang akan diterima bagi yang tidak
mematuhinya. Segala bentuk penindasan hanya untuk kesenangan penguasa
dihilangkan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perpajakan sudah ada pada zaman
Nabi yaitu dikenal dengan “zakat”. Kemudian pajak mengalami perkembangan
disebut dengan “upeti” yaitu pemberian secara cuma-cuma namun sifatnya
merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh
rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Dalam perkembangannya, sifat upeti yang
diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi
sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
Pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) mengadakan pembaharuan
sistem pajak yang dikenal dengan landrent
stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh dari Benggala,
India. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan di
Indonesia dan perkembangannya adalah Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak
Penghasilan, dan Pajak Perseroan. Terlalu banyaknya undang-undang yang
dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya
sehingga sistem perpajakan yang semula official
assessment diubah menjadi self
assessment.
1 Tanggapan untuk "PERPAJAKAN PADA ZAMAN KERAJAAN DAN PENJAJAHAN DI INDONESIA"
good job
Post a Comment