AGAMA HINDU
BANGUNAN RUMAH BERDASARKAN
BANGUNAN RUMAH BERDASARKAN
ASTA KOSALA KOSALI
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman
budaya yang ada di Indonesia turut mempengaruhi ciri khas keunikan budaya
termasuk dari segi bangunan. Pulau bali merupakan salah satu bagian Negara
Indonesia yang tidak luput dari budaya termasuk segi bagunannya. Bangunan
tradisional Bali dibangun menurut Asta Kosala Kosali yang merupakan
Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan
untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali
yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan
konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta
pelaksanaan yadnya. Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran
dari tubuh yang memiliki rumah. Umumnya pemilik rumah tidak menggunakan meter
tetapi menggunakan seperti :
a.
Musti(ukuran atau
dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
b.
Hasta(ukuran sejengkal
jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari
tengah yang terbuka),
c.
Depa (ukuran yang
dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan).
Menurut
Ida Pandita Dukuh Samyaga , perkembangan arsitektur bangunan bali, tak lepas
dari peran bebrapa tokoh sejarah Bali Aga.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa
Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh Mahabrata yang dimintai bantuan oleh
Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisahnya hanya Wismakarma yang
bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa
menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun
temurun oleh umat Hindu dianggap sebagai dewa
arsitektur. Karenanya, tiap pembangunan di Bali selalu disertai dengan dengan
upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wismakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi,
membuat dasar bangunan sampai selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada
Bhagawan Wismakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif
bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki
jiwa Bhuana Agung (alam makrosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan
adalah bagian dari Buana Alit (mikromos). Antara manusia (mikrosmos) dan
bangunan yang ditempati harus harmonis antara kedua alam tersebut. Oleh karenan
itu membuat bangunan harus sesuai dengan tata cara yang ditulis dalam sastra
Asta Bhumi dan Atas Kosala Kosali. Sebaga contoh di Bali dapat kita temukan
tempat yang masih melestarikan tatanan bangunan Bali Aga yaitu di daerah Desa
Penglipuran, Kabupaten Bangli.
2.1
Konsep Tatanan Bali
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Bali
Babakan
sejarah tradisional Bali yang disajikan dalam berbagai naskah ternyata
bervariasi . namun dalam kaitannya dengan perkembangan arsitektur maka babakan
perkembangannya akan diambil menurut babakan sbb:
•
Masa Prasejarah
•
Masa bali Age
•
Masa Bali Kuna
•
Masa kekuasaan Majapahit
•
Masa Penjajahan Belanda
•
Masa Kemerdekaan
2.1.1.1Masa Prasejarah
Masa
ini diperkirakan langsung sampai abad ke 1 Masehi masyarakat masih hidup secara
nomaden. Kemudian mulai menetap di bawah pohon ,goa,dan akhirnya pada bangunan
yang sangat sederhana dari ranting pohon yang terolah secara teknis. Tentu saja
bangunan semacam ini tidak bisa bertahan lama, sehingga tidak ada peninggalan
yang bisa dipelajari.
2.1.1.2 Masa Bali Age
Masa
ini dimulai dari saat keberhasilan Rsi Markendya dengan pengikut para
transmigran dari Jawa yang berasal dari orang-orang bangunan(Orang Age)membuka
hutan di Bali. Karena keberhasilan ini maka mulai dibangun permukiman-permukiman
didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun
permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai
dibangun tempat-tempat peribadatan Hindu dengan sebuta n Hyang untuk istilah
pura sekarang. Atas keberhasilan ini pula maka dimulai pembangunan Besakih
tahap awal yang berasal dari kata “basuki”yang artinya selamat.para ahli dari
berbagai aspek kehidupan juga didatangkan dari jawa yang menyangkut
bidang-bidang pertanian,peternakan,irigasi,dan permukiman. Hubungan dengan Cina
dan 5
Jawa
menjadi erat. Berita tentang kemakmuran bali
pada saat itu dicatat oleh pedagang cina
dan juga pedagang yunani. Hasil arsitek permukiman pada masa ini masih
terlihat pada desa –desa Bali Age di daerah pegunungan seperti Trunyan ,
Sukawana, Taro Cempaga , Sidatapa dll. Masa ini diakhiri dengan mulai
berdirinya kerajaan Bali Kuno dengan nama Singan Mandara dengan raja pertama
Kesari Warmaddewa dengan raja pertamanya Kesari Warmadewa pada abad ke IX.
2.1.1.3 Masa Bali Kuna
Puncak
keemasanb dari masa ini adalah pada waktu pemerintahan raja Udayana Warmadewa
yang memerintah bersama-sama permaisuri Dharmapatni. Pada masa ini ada
keajaiban penting yang berkaitan dengan perkembangan arsitektur yaitu datangnya
Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan
dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan pada masa
pemerintahan raja Anak Wungsu (putra udayana adik erlangga ). Mpu Kuturan
mengadakan pembaharuan di bidang keagamaan sarana peribadatan dan permukiman.
Beliau mulai menghidupkan kembali paham trimurti yang dipuja melalui pura
Tri-Khayangan yang merupakan pengikat dalam satu desa adat. Dalam rumah tangga
juga dikembangkan tempat pemujaan keluarga Rong Tiga atau sanggah kemulan dan
Hyang Guru.Masa Bali Kuna ini berakhir dengan ditaklukannya Bali oleh Majapahit
pada abad XIV.
2.1.1.4 Masa
Majapahit
Masa
pemerintahan Majapahit di Bali dimulai dengan pengangkatan Sri Kresna kepakisan
sebagai Adapati Bali dan di sampangan,Gianyar,Jaman Keemasan dicapai oleh
penerus beliau yaitu raja Dalem Waturenggong.pada masa ini dating dari Jawa
seorang tokoh agama Hindu yang beraliran Siwa .Beliau banyak mengadakan
pembangunan keagamaan dan juga pembangunan masyarakat. Tempat pemujaan khusus
untuk Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya diwujudkan dengan bangunan
Padmasana. Pada waktu ini juga banyak dibangun pura-pura pantai dan juga
kemudian dibangun pura-pura untuk menghormati beliau. Pada masa ini
diintrodusir Asta Dasa Kosali sebagai dasar aturan pembangunan,masyarakat mulai
digolongkan secara fungsional berdasarkan profesi dalam Catur Warna, dan mulai
dibangunBale Banjar sebagai sarana pengikat persatuan untuk kelompok masyarakat
kecil.
Akhirnya
masa ini berakhir setelah Belanda di Bali banyak pusakasuci lontar diangkut
keNegeri Belanda termasuk juga pustaka-pustaka. Beberapa puri yang juga sebagai
symbol kekuasaan kerajaan Bali dihancurkan. Dalam bidang arsitektur diupayakan
juga terjadi semacam perkawinan (Alkulturasi),yang menghasilkan bangunan-bangunan
denmgan postur belanda dengan tatahias Bali. Hasil pembangunan pada masa ini
beruopa kantor pemerintahan Belanda seperti kantor Residen,Kantor
kontrolir,museum Bali. Bali hotel dan beberapa sekolah dan rumah pejabat
Belanda. Masa ini berakhir dengan proklamasi kemerdekaan th 1945 dan lebih
mantap lagi setelah penyerahan kedaulatan th.1949 maka mulailah babakan baru
pada Masa Kemerdekaan. 6
2.1.1.5.Masa Kemerdekaan
Merdeka
masyarakat Bali juga diartikan merdeka dalam dalam membentuk corak bangunan.
Pada awal masa ini banyak dibangun fasilitas kantor untuk pemerintahan dan juga
rumah-rumah jabatan yang penampilannya ham. Hal ini dapat dimaklumi karena
ketersediaan para perancang teramat sangat terbatas. Masyarakat umumnya suyka
meniru hal-hal yang dianggap baik seperti apa yang dibangun oleh pemerintah dan
seperti apa yang dimiliki oleh para pejabat. Sehingga badai perombakan
bangunan-banguna tradisional Belanda,Bali dan digantikan dengan bangunan
jenis”Kantoran”.lama kelamaan timbul pula keperihatinan karena produk
tradisional yang merupakan budaya daerah ini populasinya kian menyusut. Sampai
akhirnya timbul kesadaran utuk menyelamatkan serta mengembangkan warisan budaya
sebagaimana diaqmatkan dalam pasal 32 UUD 1945 .maka untuk itu mulailah dirintis
suatu peraturan daerah yang mengandung misi mempertahankan dan mengembangkan
inti dan gaya Arsitektur Tradisional Bali. Lahirlah pera No.2,3 dan 4 Th.1974
tentang Tata Ruang untuk Pembangunan,Lingkungan khusus dan bangunan-banguanan.
2.1.2 Gambaran Umum dan Konsep
2.1.2.1 Gambaran Umum
Arsitektur Tradisional Bali bersumber dari ajaran –
ajaran serta tuntunan tentang merencanakan dan menciptakan ruang. Ajaran serta
tuntutan tersebut mengandung nilai yang sangat mendasar, nilai filosofis, nilai
religius serta nilai manusiawi yang termuat dalam lontar – lontar. Konseptual
perancangan arsitektur tradisional Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang
dibentuk oleh tiga sumbu berikut :
a.
Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir dan atmosfir)
b.
Sumbu Ritual : Kangin dan Kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
c.
Sumbu Natural : Utara dan Selatan (gunung dan laut)
Arsitektur Bali tidak hanya berkaitan dengan
pembangunan tempat suci spiritual seperti pura dan candi seperti pandangan orang
awam, tetapi juga sangat mempengaruhi tata ruang, teknik, nilai estetis, ukuran
hingga ritual yang digunakan dalam pembangunan. Arsitektur bali juga tidak
hanya berfokus pada arsitektur Tradisional, tetapi juga pada pengembangan
arsitektur modern sesuai perkembangan zaman namun masih mempertahankan konsep
Arsitektur Bali.
2.1.2.2 Konsep Dasar
Arsitektur
tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya.
Konsep
dasar tersebut adalah:
*
Konsep Tri Hita Karana
*
Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
*
Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
*
Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
*
Konsep proporsi dan skala manusia
*
Konsep kejujuran bahan bangunan
*
Asta Kosala Kosali
*
Asta Mandala
Ø Konsep Tri Hita Karana
Tri
Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga,
hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan,
dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian.
Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1.
Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa,
2.
Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
3.
Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya
ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam
kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan dalam 3
unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Dalam
arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok
dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan
ruang arsitektur yang harmonis di antara ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah
penataan ruang yang seimbang.
Ø Hirarki Ruang / Tri
Angga/Tri Loka
Tri
Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya).
Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan
arsitektur tradisional Bali. 9
1.
Utama,
bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi
2.
Madya,
bagian yang terletak di tengah
3.
Nista,
bagian yang terletak di bawah, kotor, dan rendah
Ø Asta Kosala Kosali
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali,
adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat
tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan
Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan
lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan
lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di
dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan
ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi
menggunakan seperti:
·
Musti
(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
·
Hasta
(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai
ujung
·
jari
tengah yang terbuka)
·
Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang
tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Ø Asta Bhumi
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang
luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
·
Tujuan
Asta Bumi adalah
a)
Memperoleh
kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b)
Mendapat
vibrasi kesucian
c)
Menguatkan
bhakti kepada Hyang Widhi 10
Ø Konsep Tata Ruang
Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan
manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis
yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58)
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi
pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan
rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan
pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk
diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan
diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya
konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
Ø konsep manik ring
cucupu
.
Konsep manik ring cacupu adalah konsepdimana manusia harus selaras dengan alam.
Seperti janin(manik) danrahim ibu(cacupu). Karena memiliki kesamaan unsur
pembentuk 11
2.2
Konsep Tatanan Bangunan Bali Aga di
Penglipuran
2.2.1.Arsitektur Desa Bali Aga
Perkembangan Arsitektur
Tradisional Bali mempunyai sejarah yang sangat panjang, di tyambah lagi dari jaman
prasejarah (jaman Paleolitic dan Mesolitic), jaman sebelum datangnya Empu
Kuturan dan setelah datangnya Empu Kuturan), jaman pengaruh Majapahit, sampai
saat sekarang termasuk jaman modern.
Arsitektur Bali Aga
diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno (sebelum datangnya Empu Kuturan).
Bentuk-bentuk rumah pada jaman ini adalah rumah-rumah sederhana yang disebut
kubu, bentuk rumah semacam ini masih banyak terdapat di daerah Bali pegunungan
dan masih dapat dilihat sampai sekarang. Umumnya dalam satu rumah terdapat banyak
fungsi. Masyarakat pada jaman tersebut dikenal sebagai masyarakat Bali Aga
(Bali Asli), yaitu masyarakat Bali yang kurang mendapat pengaruh Hindu
Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan (I Gusti
Ngr. Bagus, 1979).
Seperti dijabarkan oleh
Made Geria, dalam Prasejarah dan Klasik di Bali, ada pun ciri khas
pola permukiman Bali Aga adalah sebagai berikut:
1.
Rumah adatnya berupa
rumah tampul roras. Tampul berarti adegan = tiang rumah (J. Kersten S.V.D., 1994 dalam Prasejarah dan
Klasik di Bali). Roras = 12, jadi
yang dimaksudkan adalah rumah dengan menggunakan konstruksi tiang penyangga
sebanyak keseluruhan 12 buah.
Seperti hunian di Desa Bayung Gede
memiliki tiga massa bangunan yang merupakan pakem tradisional dan warisan
ratusan tahun yang lalu. Bangunan tersebut antara lain Lumbung, Bale Pegaman, dan Paon/Dapur.
Masing-masing bangunan berbentuk persegi panjang dan memiliki empat tiang kayu
sebagai penyangga atap. Apabila dijumlahkan, maka jumlah keseluruhan tiang
menjadi 3 bangunan x 4 tiang = 12 tiang.
2.
Pola permukiman yang
diterapkan, yaitu pola linier (linier
pattern) dengan struktur berderet tanpa adanya tembok pembatas antara rumah
yang satu dengan yang lainnya. Halaman rumah tampak menyatu dengan rumah-rumah
di sekitarnya.
3.
Di samping adanya
kompleks desa induk, juga ada daerah-daerah yang menyebar membentuk
sublingkungan yang berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa
induk.
Dalam penataan masing-masing wilayah
mempunyai kekhasan seperti di Desa Tenganan dengan plaza berpola khusus, plaza
dengan pola lingkar sisi di Desa Julah, dan plaza
dengan lorong-lorong kea rah tepi di Desa Bugbug. Desa Bayung Gede memiliki
kekhasan yang serupa dengan desa tradisional lainnya di Bali
4.
Kiblat atau arah
bangunan perumahan ke arah tempat yang lebih rendah, dalam artian tempat yang
lebih tinggi selalu dijadikan tempat yang disucikan/diutamakan (hulu).
5.
Arah hadap rumah tidak
langsung ke jalan utama, tetapi melalui jalan-jalan kecil yang ada di depan
rumah (gang).
6.
Faktor yang menonjol
adalah faktor kondisi alam, nilai utama pada arah gunung (puncak tertinggi
sebagai orientasi bersama).
7.
Pola lingkungan
mendekati pola linier dengan lintasan-lintasan jalan yang membentuk pola
lingkungan yang sesuai dengan transis lokasi kemiringan dan lereng-lereng alam.
8.
Konsepsi yang dikenal,
yaitu Tri Loka (Tiga Dunia) dalam
pelaksanaan pengaturan struktur pekarangan, yang terkait dengan kepercayaan
adanya pandangan bahwa dunia atau alam semesta tesusun atas tiga bagian, yaitu Bhur, Bwah, Swah. Dalam diri manusia,
pandangan ini menjelma ke dalam konsep Tri
Angga (Tiga Badan) yang dapat terlihat dari pembagian daerah secara
horizontal, yaitu bagian utama (hulu)
tempat bangunan suci, halaman tengah, dan halaman luar.
9.
Penataan ruang tidak
berlaku secara horisontal, namun vertical, dalam penentuan kesucian tempat
diukur dari ketinggian yang diposisikan sebagai tempat yang disucikan. Konsep
pengaturan secara vertikal ini berpola juga pada pembagian ruang di dalam rumah
tampul roras, penempatan para-para
yang strukturnya dibuatkan paling atas sebagai tempat pemujaan yang disucikan.
10. Bangunan
tampul roras dibuat di kawasan yang
terisolir di daerah balik pegunungan terkait dengan aspek lingkungan yang
tujuannya untuk alasan keamanan karena pada dasarnya masyarakat Bali Aga ingin mempertahankan dirinya,
tidak mau tunduk kepada Majapahit. Hal ini terkait juga dengan keberadaan
tempat pemujaan di dalam rumah, ada dugaan sengaja dibuat demikian untuk
menjaga keamanan masyarakat penganut budaya Bali
Aga agar tidak menimbulkan
kecurigaan orang di sekitarnya.
11. Rumah
dibuat dengan atap rendah dan minim ventilasi.
12. Struktur
bangunan tampul roras, terdiri atas
beberapa bagian yang umumnya terdiri dari:
·
Bebaturan,
terdiri dari jongkok asu sebagai
pondasi tiang.
·
Dinding. Masing-masing
wilayah memiliki ciri khas tersendiri disesuaikan potensi daerah yang dimiliki.
·
Tiang. Struktur dan
kerendahannya hampir
sama dengan daerah dataran yang umumnya disebut saka.
·
Pementang,
balok yang membentang di tengah pengikat jajaran tiang fungsinya membentang dan
menstabilkan lambang (balok di
sekeliling rangkaian tiang tepi).
·
Raab
(atap), sebagian besar dibuat dari bahan-bahan alam, alang-alang dan sirap
bambu.
·
Keseluruhan konstruksi
rangka membentuk satu kesatuan stabilitas struktur yang estetis dan fungsional.
Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak tali ikatan.
Penduduk Bali Aga
dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan animism dan dinamisme. Namun,
pengaruh Majapahit pada abad ke-14 melalui Patih Gajah Mada dengan agama Siwa
Budha-nya yang berkepentingan memasukkan agama tersebut berhasil mempengaruhi
penduduk Bali dataran rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan
berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan kemudian mendirikan permukiman yang
tidak terpengaruh oleh keyakinan Bali dataran rendah. Secara perlahan Agama
Siwa Budha yang kemudian bertransformasi menjadi Agama Hindu Bali berhasil
mempengaruhi seluruh kawasan Bali termasuk desa tradisionalnya.
Desa
Bali Aga (Bali Apanaga), yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem,
dan adat-istiadatnya, serta tidak atau sedikit pun kena pengaruh Majapahit.
Desa-desa tradisional yang tergolong desa Bali Aga meliputi:
·
Desa Trunyan
·
Desa Tenganan
·
Desa Asak
·
Desa Sembiran
·
Desa Pinggan
·
Desa Pengotan
·
Dll.
Desa
Apanaga, yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata
kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa itu sebagian besar terletak di daerah Bali
dataran di Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem,
Buleleng dan Jembrana.
2.2.2
DESA
PANGLIPURAN
Desa tradisional dengan
ciri khas keseragaman angkul-angkul rumah dan kekayaan hutan bambu yang
dilestarikan sebagai desa wisata.
Desa Penglipuran secara
pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Kota Bangli sendiri telah
berusia ± 793 th, sedangkan Desa Penglipuran ini terbentuk pada jaman Kerajaan
Bangli. Masyarakat setempat mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari desa
Bayung Gede, Kintamani.
Penduduk dari desa Kubu yang mondok dan bercampur dengan
penduduk dari Bayung Gede tersebut, membentuk suatu pola menetap yang kecil dan
diberi nama Penglipuran. Penglipuran berasal dari kata lipur yang berarti menghibur hati, jadi penglipuran memiliki arti tempat untuk menghibur hati.
Pondok-pondok di daerah hutan sebagai tempat untuk menghibur hati sambil
bekerja di ladang yang kemudian menjadi desa Penglipuran. Sementara para pemuka
adat setempat menuturkan bahwa nama Penglipuran mengandung makna pengeling pura, sebuah tempat suci untuk
mengenang leluhur. Konon, penduduk desa Penglipuran pernah diminta bantuannya
oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan kerajaan Gianyar. Karena
keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh Raja Bangli berupa tanah yang
lokasinya sekarang adalah desa adat Penglipuran.
Desa Penglipuran
merupakan desa adat yang perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh
kebudayaan Bali Mula (Bali Apanaga), yaitu sebagai kebudayaan awal terlahirnya
kebudayaan Bali. Memasuki jaman Bali Aga, kebudayaan dikembangkan dengan
membentuk benda-benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya
menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Dilanjutkan dengan Bali
Arya terjadi lagi pembaharuan di bidang budaya yang di antaranya adanya lontar-lontar
Asta Bumi dan Asta Kosali sebagai pedoman teori pelaksanaan bangunan arsitektur
tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Bali dikuasai Pemerintah
Kolonial Belanda pengaruh asing kembali menyentuh arsitektur tradisional Bali.
Pada masa
Hindu-Majapahit, Penglipuran tidak terkena pengaruh karena letak desa ini jauh
dari pusat kekuasaan ketika itu, yaitu Samprangan-Gianyar, maka pengaruh yang
berkembang terasa lebih dinikmati oleh daerah-daerah dataran yang dekat dengan
pusat pemerintahan. Dang Hyang Nirartha
sebagai pemuka agama ketika merancang suatu bentuk bangunan suci baru yang
dikenal sebagai padmasana, sebagai
wujud fisik merupakan symbol pemersatu umat yang ketika itu terpecah dalam “kasta”. Baru pada tahun 1930 bangunan padmasana diterima oleh komunitas
Penglipuran yang dibangun pada Pura
Penataran (Rajin, mantan Jeo Bayan,
wawancara: 1999). Sampai saat ini, belum semua pura pada masing-masing rumah tinggal memiliki padmasana, hal yang sama juga dijumpai di Desa Bayung Gede.
Nuansa arsitektur
nontradisional “modern” baru merambah ke Penglipuran ketika pemerintah mulai
membangun kawasan ini untuk pertama kalinya sebagai Taman Makam Pahlawan (pada
saat revolusi, Penglipuran merupakan basis sekaligus bentang pejuang Bangli),
kemudian dilanjutkan dengan sekolah, jalan, jaringan listrik, air bersih,
telepon, dan sebagainya.
2.2.3
POLA
DESA
Falsafah
hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam
mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan,
Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang
dijabarkan dalam tata letak
dalam desa ini.
Pola desa yang
terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat
Penglipuran yang dibawa dari leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Secara
garis besar pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut:
2.2.3
POLA
HUNIAN
Pola
rumah pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari terbit dan tenggelam,
yaitu timur “kangin” dan barat “kauh”. Poros tengah yang membagi
perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariannya difungsikan
sebagai akses sirkulasi, ruang public “sosial”, dan prosesi ritual.
Masing-masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih
dapat saling berhubungan dari rumah di hulu
sampai dengan di hilir melalui celah “peletasan”. Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajiner seolah-olah
miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah dilengkapi
dengan areal sebagai kebun rumah “teben”.
Memasuki
daerah kompleks hunian terdiri dari pura (mrajan),
dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang
tidur. Pada satu area rumah letak sanggah (pamerajan)
selalu terletak pada sebelah Timur “kangin”
bangunan karena merupakan tempat suci.
2.2.4
POLA
PERMUKIMAN
Permukiman Desa
Penglipuran berorientasi ke gunung “kaja”
dan ke laut “kelod” yang membentuk
pola linier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran
yang linier ini mengikuti sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada. Akan
tetapi, bila pola desanya dikaji Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986: 9),
menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau mengelompok atau disebut juga memusat. Pada konsep
desa ini, tercermin adanya konsep Kahyangan
Tiga yang merupakan refleksi batas desa adat, dan merupakan transformasi
nilai simbol dari Trilogi, yaitu lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa. Di samping itu, sebagai penanda
orientasi hulu “kaja”, tengah, dan teben “kelod”, atau analogi tubuh
manusia yang disebut dengan Tri Angga,
yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan nista, yang kebetulan terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali
Aga yang berpolakan gunung dan laut.
2.2.4 Bentuk
dan Bahan
Bentuk
segi empat mendominasi pada bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian
kepala bangunan. Setiap komplek hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung
proporsi tubuh pemiliknya. Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi
hunian merupakan pencerminan dari pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang
tersedia di alam sekitarnya dan bentuk-bentuk yang sangat harmonis dengan
lingkungannya adalah buah pemikiran leluhur yang luar biasa.
Bangunan
Suci/Parahyangan
Pada
bagian Parhyangan terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian ± 6
meter dengan bukaan kecil pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu
masuk (entrance). Kori Agung ini memiliki tujuh anak
tangga, bagian atas kori memiliki
ornament dari berbagai jenis patra
dan kekarangan, sehingga memberikan
kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura
Penataran terdapat pelinggih-pelinggih
kecil, meru tumpang tiga, bale agung,
gedong, dan bale panjang dengan
bahan pada bagian kakinya menggunakan batu paras, bagian badannya menggunakan
kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu.
Selain
Kori Agung juga terdapat Candi Bentar sebagai pintu masuk ke
areal pelinggih-pelinggih dalam pura.
Warna dan bahan pada Candi Bentar
memiliki kesamaan dengan Kori Agung,
hanya saja bentuknya terlihat lebih kecil, bukaan yang menerus dan membelah Candi bentar menjadi dua bagian. Di
sebelah timur Pura Penataran terdapat
Pura Puseh yang bentuknya lebih
sederhana, sedangkan Pura Dalem
berada di area nista (selatan)
berdekatan dengan kuburan, serta bahannya dari bahan alam (batu), namun
bentuknya sangat sederhana hanya sebuah batu dengan lingkungan sekitarnya yang
dibersihkan tanpa terdapat padmasana.
·
Bangunan
Pawongan
Pada
bagian pawongan terdapat hunian
penduduk yang di dalamnya terdapat pura (merajan),
dapur, ruang tidur, lumbung dan bale adat (bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian menggunakan
sistem pondasi umpak (setempat)
dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung, dan angkul-angkul desa sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet,
dan tempat jual sovenir.
Jalan
tengah desa (rurung gede), gang/jalan
setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal pawongan, yaitu masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal
perumahan dengan sarana dan prasarananya.
Pura
(merajan) menggunakan bahan batu alam
pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya menggunakan bahan kayu dan ada
juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak menggunakan
ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun genteng.
Bale
Adat menggunakan balok dengan bentang
4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu yang kualitas bahannya dapat
mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen, serta batu
bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap bambu dengan
bentang 4,6 m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan oleh kayu dan
bambu adalah jenis sambungan pelana.
Pada
bagian dapur menggunakan balok dengan bentang ± 3 m, dengan besaran balok 10/10
dan tiang bambu, memakai bambu yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah
tidak berpola dengan jenis tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap
menggunakan bahan kayu dan sumbu yang berbentuk sirap, seng dan genteng.
Dapur
difungsikan juga sebagai ruang tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari batu padas.
Kolomnya memiliki bentang ± 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan
adalah bujur sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan
adalah anyaman bambu (bedeg), serta
atap yang ditutup dengan sirap bambu.
Pada
jineng (lumbung) menggunakan bilik
dengan bentang ± 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang digunakan adalah 10/15.
Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang horizontal
dengan ketinggian dari tanah ± 1 m. Bahan atap terdiri dari rangka kayu dengan penutup
atap seng, dengan bentang ± 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai dengan
struktur kayu dan memiliki plafon dari bambu dipasang secara horisontal.
Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu (bedeg) dengan kolom dari kayu yang berkualitas baik.
Selain
bangunan hunian daerah pawongan
terdapat pula “bale banjar” yang
biasa digunakan untuk pertemuan warga dan untuk acara-acara kemasyarakatan.
Memiliki bentangan balok ± 3,6 m, besar kolom 10/10 dengan kualitas bahan yang
baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau tanah biasa yang dipadatkan
dengan ketinggian lantai ± 60 cm, serta memiliki luasan 18 m2. Atap
menggunakan bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya adalah perisai atau
limasan dengan struktur dari kayu.
Sistem
pondasi menggunakan pondasi umpak
dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang antar kolom 1,5-2,5 m, besar
kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk bujur
sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini terdapat bale
kul-kul, dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi untuk
komunikasi nonverbal dengan masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale kul-kul
adalah batu bata merah.
Pada
daerah pawongan pada ujung paling
selatan terdapat suatu lahan yang disebut “karang
memadu/karang madu”, yaitu satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh
Desa Adat, dan diperuntukan bagi krama
desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu). Namun, sampai
saat ini belum ada krama desa yang
ditempatkan di Karang Memadu.
·
Bangunan
Palemahan
Daerah
palemahan terdapat beberapa bangunan
antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom Mudita, wantilan dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan
bambu. Bangunan wantilan yang
terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada bagian lantainya
menggunakan bahan traso serta bahan kayu digunakan pada bagian balok, kolom,
dan struktur atapnya. Untuk penutup atapnya menggunakan seng, sedangkan bahan
yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah.
Ujung
selatan dari daerah palemahan
terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra)
untuk masyarakat Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat
Penglipuran sangatlah penting, karena di desa Penglipuran tidak dilakukan
prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah lain di
Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan
yaitu kita hendaknya membangun rumah menurut Asta Kosala Kosali agar kita dapat
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, Mendapat
vibrasi kesucian, menguatkan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.
Belum ada tanggapan untuk "[AGAMA HINDU] Konsep Bangunan Rumah Berdasarkan Asta Kosala Kosali"
Post a Comment