[AGAMA HINDU] Konsep Bangunan Rumah Berdasarkan Asta Kosala Kosali

AGAMA HINDU
BANGUNAN RUMAH BERDASARKAN
ASTA KOSALA KOSALI

1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia turut mempengaruhi ciri khas keunikan budaya termasuk dari segi bangunan. Pulau bali merupakan salah satu bagian Negara Indonesia yang tidak luput dari budaya termasuk segi bagunannya. Bangunan tradisional Bali dibangun menurut Asta Kosala Kosali yang  merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang memiliki rumah. Umumnya pemilik rumah tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti :
   a.       Musti(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
   b.      Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka),
   c.       Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan).

Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga , perkembangan arsitektur bangunan bali, tak lepas dari peran bebrapa tokoh sejarah Bali Aga.  Seperti halnya yang dikemukakan oleh Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh Mahabrata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisahnya hanya Wismakarma yang bersatu  sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun temurun oleh umat Hindu dianggap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap pembangunan di Bali selalu disertai dengan dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wismakarma. Upacara demikian  dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bangunan sampai selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wismakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa Bhuana Agung (alam makrosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari Buana Alit (mikromos). Antara manusia (mikrosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis antara kedua alam tersebut. Oleh karenan itu membuat bangunan harus sesuai dengan tata cara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala Kosali. Sebaga contoh di Bali dapat kita temukan tempat yang masih melestarikan tatanan bangunan Bali Aga yaitu di daerah Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli.

2.1 Konsep Tatanan Bali

2.1.1  Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Bali
Babakan sejarah tradisional Bali yang disajikan dalam berbagai naskah ternyata bervariasi . namun dalam kaitannya dengan perkembangan arsitektur maka babakan perkembangannya akan diambil menurut babakan sbb:
• Masa Prasejarah
• Masa bali Age
• Masa Bali Kuna
• Masa kekuasaan Majapahit
• Masa Penjajahan Belanda
• Masa Kemerdekaan

2.1.1.1Masa Prasejarah

Masa ini diperkirakan langsung sampai abad ke 1 Masehi masyarakat masih hidup secara nomaden. Kemudian mulai menetap di bawah pohon ,goa,dan akhirnya pada bangunan yang sangat sederhana dari ranting pohon yang terolah secara teknis. Tentu saja bangunan semacam ini tidak bisa bertahan lama, sehingga tidak ada peninggalan yang bisa dipelajari.

2.1.1.2  Masa Bali Age

Masa ini dimulai dari saat keberhasilan Rsi Markendya dengan pengikut para transmigran dari Jawa yang berasal dari orang-orang bangunan(Orang Age)membuka hutan di Bali. Karena keberhasilan ini maka mulai dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun permukiman-permukiman didaerah-daerah subur dipegunungan dan juga mulai dibangun tempat-tempat peribadatan Hindu dengan sebuta n Hyang untuk istilah pura sekarang. Atas keberhasilan ini pula maka dimulai pembangunan Besakih tahap awal yang berasal dari kata “basuki”yang artinya selamat.para ahli dari berbagai aspek kehidupan juga didatangkan dari jawa yang menyangkut bidang-bidang pertanian,peternakan,irigasi,dan permukiman. Hubungan dengan Cina dan 5
Jawa menjadi erat. Berita tentang kemakmuran bali  pada saat itu dicatat oleh pedagang cina  dan juga pedagang yunani. Hasil arsitek permukiman pada masa ini masih terlihat pada desa –desa Bali Age di daerah pegunungan seperti Trunyan , Sukawana, Taro Cempaga , Sidatapa dll. Masa ini diakhiri dengan mulai berdirinya kerajaan Bali Kuno dengan nama Singan Mandara dengan raja pertama Kesari Warmaddewa dengan raja pertamanya Kesari Warmadewa pada abad ke IX.

2.1.1.3 Masa Bali Kuna

Puncak keemasanb dari masa ini adalah pada waktu pemerintahan raja Udayana Warmadewa yang memerintah bersama-sama permaisuri Dharmapatni. Pada masa ini ada keajaiban penting yang berkaitan dengan perkembangan arsitektur yaitu datangnya Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Menurut Buku Sejarah Bali kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (putra udayana adik erlangga ). Mpu Kuturan mengadakan pembaharuan di bidang keagamaan sarana peribadatan dan permukiman. Beliau mulai menghidupkan kembali paham trimurti yang dipuja melalui pura Tri-Khayangan yang merupakan pengikat dalam satu desa adat. Dalam rumah tangga juga dikembangkan tempat pemujaan keluarga Rong Tiga atau sanggah kemulan dan Hyang Guru.Masa Bali Kuna ini berakhir dengan ditaklukannya Bali oleh Majapahit pada abad XIV.

2.1.1.4  Masa Majapahit

Masa pemerintahan Majapahit di Bali dimulai dengan pengangkatan Sri Kresna kepakisan sebagai Adapati Bali dan di sampangan,Gianyar,Jaman Keemasan dicapai oleh penerus beliau yaitu raja Dalem Waturenggong.pada masa ini dating dari Jawa seorang tokoh agama Hindu yang beraliran Siwa .Beliau banyak mengadakan pembangunan keagamaan dan juga pembangunan masyarakat. Tempat pemujaan khusus untuk Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya diwujudkan dengan bangunan Padmasana. Pada waktu ini juga banyak dibangun pura-pura pantai dan juga kemudian dibangun pura-pura untuk menghormati beliau. Pada masa ini diintrodusir Asta Dasa Kosali sebagai dasar aturan pembangunan,masyarakat mulai digolongkan secara fungsional berdasarkan profesi dalam Catur Warna, dan mulai dibangunBale Banjar sebagai sarana pengikat persatuan untuk kelompok masyarakat kecil.
Akhirnya masa ini berakhir setelah Belanda di Bali banyak pusakasuci lontar diangkut keNegeri Belanda termasuk juga pustaka-pustaka. Beberapa puri yang juga sebagai symbol kekuasaan kerajaan Bali dihancurkan. Dalam bidang arsitektur diupayakan juga terjadi semacam perkawinan (Alkulturasi),yang menghasilkan bangunan-bangunan denmgan postur belanda dengan tatahias Bali. Hasil pembangunan pada masa ini beruopa kantor pemerintahan Belanda seperti kantor Residen,Kantor kontrolir,museum Bali. Bali hotel dan beberapa sekolah dan rumah pejabat Belanda. Masa ini berakhir dengan proklamasi kemerdekaan th 1945 dan lebih mantap lagi setelah penyerahan kedaulatan th.1949 maka mulailah babakan baru pada Masa Kemerdekaan. 6

2.1.1.5.Masa Kemerdekaan

Merdeka masyarakat Bali juga diartikan merdeka dalam dalam membentuk corak bangunan. Pada awal masa ini banyak dibangun fasilitas kantor untuk pemerintahan dan juga rumah-rumah jabatan yang penampilannya ham. Hal ini dapat dimaklumi karena ketersediaan para perancang teramat sangat terbatas. Masyarakat umumnya suyka meniru hal-hal yang dianggap baik seperti apa yang dibangun oleh pemerintah dan seperti apa yang dimiliki oleh para pejabat. Sehingga badai perombakan bangunan-banguna tradisional Belanda,Bali dan digantikan dengan bangunan jenis”Kantoran”.lama kelamaan timbul pula keperihatinan karena produk tradisional yang merupakan budaya daerah ini populasinya kian menyusut. Sampai akhirnya timbul kesadaran utuk menyelamatkan serta mengembangkan warisan budaya sebagaimana diaqmatkan dalam pasal 32 UUD 1945 .maka untuk itu mulailah dirintis suatu peraturan daerah yang mengandung misi mempertahankan dan mengembangkan inti dan gaya Arsitektur Tradisional Bali. Lahirlah pera No.2,3 dan 4 Th.1974 tentang Tata Ruang untuk Pembangunan,Lingkungan khusus dan bangunan-banguanan.



2.1.2  Gambaran Umum dan Konsep
2.1.2.1 Gambaran Umum

Arsitektur Tradisional Bali bersumber dari ajaran – ajaran serta tuntunan tentang merencanakan dan menciptakan ruang. Ajaran serta tuntutan tersebut mengandung nilai yang sangat mendasar, nilai filosofis, nilai religius serta nilai manusiawi yang termuat dalam lontar – lontar. Konseptual perancangan arsitektur tradisional Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang dibentuk oleh tiga sumbu berikut :
a. Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir dan atmosfir)
b. Sumbu Ritual : Kangin dan Kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
c. Sumbu Natural : Utara dan Selatan (gunung dan laut)
Arsitektur Bali tidak hanya berkaitan dengan pembangunan tempat suci spiritual seperti pura dan candi seperti pandangan orang awam, tetapi juga sangat mempengaruhi tata ruang, teknik, nilai estetis, ukuran hingga ritual yang digunakan dalam pembangunan. Arsitektur bali juga tidak hanya berfokus pada arsitektur Tradisional, tetapi juga pada pengembangan arsitektur modern sesuai perkembangan zaman namun masih mempertahankan konsep Arsitektur Bali.

2.1.2.2 Konsep Dasar
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya.
Konsep dasar tersebut adalah:
* Konsep Tri Hita Karana
* Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
* Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
* Konsep proporsi dan skala manusia
* Konsep kejujuran bahan bangunan
* Asta Kosala Kosali
* Asta Mandala

Ø  Konsep Tri Hita Karana

Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1. Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
2. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
3. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Bali diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang arsitektur yang harmonis di antara ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah penataan ruang yang seimbang.
Ø  Hirarki Ruang / Tri Angga/Tri Loka

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali. 9
1.   Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi
2.   Madya, bagian yang terletak di tengah
3.   Nista, bagian yang terletak di bawah, kotor, dan rendah
Ø  Asta Kosala Kosali

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
·         Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
·         Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung
·         jari tengah yang terbuka)
·          Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

Ø  Asta Bhumi
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
·         Tujuan Asta Bumi adalah
a)      Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b)      Mendapat vibrasi kesucian
c)      Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi 10

Ø  Konsep Tata Ruang Sanga Mandala

Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58)
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)

Ø  konsep manik ring cucupu

. Konsep manik ring cacupu adalah konsepdimana manusia harus selaras dengan alam. Seperti janin(manik) danrahim ibu(cacupu). Karena memiliki kesamaan unsur pembentuk 11

2.2  Konsep Tatanan Bangunan Bali Aga di Penglipuran

 2.2.1.Arsitektur Desa Bali Aga

Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali mempunyai sejarah yang sangat panjang, di tyambah lagi dari jaman prasejarah (jaman Paleolitic dan Mesolitic), jaman sebelum datangnya Empu Kuturan dan setelah datangnya Empu Kuturan), jaman pengaruh Majapahit, sampai saat sekarang termasuk jaman modern.
Arsitektur Bali Aga diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno (sebelum datangnya Empu Kuturan). Bentuk-bentuk rumah pada jaman ini adalah rumah-rumah sederhana yang disebut kubu, bentuk rumah semacam ini masih banyak terdapat di daerah Bali pegunungan dan masih dapat dilihat sampai sekarang. Umumnya dalam satu rumah terdapat banyak fungsi. Masyarakat pada jaman tersebut dikenal sebagai masyarakat Bali Aga (Bali Asli), yaitu masyarakat Bali yang kurang mendapat pengaruh Hindu Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan (I Gusti Ngr. Bagus, 1979).
Seperti dijabarkan oleh Made Geria, dalam Prasejarah dan Klasik di Bali, ada pun ciri khas pola permukiman Bali Aga adalah sebagai berikut:
1.        Rumah adatnya berupa rumah tampul roras. Tampul berarti adegan = tiang rumah (J. Kersten S.V.D., 1994 dalam Prasejarah dan Klasik di Bali). Roras = 12, jadi yang dimaksudkan adalah rumah dengan menggunakan konstruksi tiang penyangga sebanyak keseluruhan 12 buah.
Seperti hunian di Desa Bayung Gede memiliki tiga massa bangunan yang merupakan pakem tradisional dan warisan ratusan tahun yang lalu. Bangunan tersebut antara lain Lumbung, Bale Pegaman, dan Paon/Dapur. Masing-masing bangunan berbentuk persegi panjang dan memiliki empat tiang kayu sebagai penyangga atap. Apabila dijumlahkan, maka jumlah keseluruhan tiang menjadi 3 bangunan x 4 tiang = 12 tiang.
2.        Pola permukiman yang diterapkan, yaitu pola linier (linier pattern) dengan struktur berderet tanpa adanya tembok pembatas antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Halaman rumah tampak menyatu dengan rumah-rumah di sekitarnya.
3.        Di samping adanya kompleks desa induk, juga ada daerah-daerah yang menyebar membentuk sublingkungan yang berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk.
Dalam penataan masing-masing wilayah mempunyai kekhasan seperti di Desa Tenganan dengan plaza berpola khusus, plaza dengan pola lingkar sisi di Desa Julah, dan plaza dengan lorong-lorong kea rah tepi di Desa Bugbug. Desa Bayung Gede memiliki kekhasan yang serupa dengan desa tradisional lainnya di Bali
4.        Kiblat atau arah bangunan perumahan ke arah tempat yang lebih rendah, dalam artian tempat yang lebih tinggi selalu dijadikan tempat yang disucikan/diutamakan (hulu).
5.        Arah hadap rumah tidak langsung ke jalan utama, tetapi melalui jalan-jalan kecil yang ada di depan rumah (gang).
6.        Faktor yang menonjol adalah faktor kondisi alam, nilai utama pada arah gunung (puncak tertinggi sebagai orientasi bersama).
7.        Pola lingkungan mendekati pola linier dengan lintasan-lintasan jalan yang membentuk pola lingkungan yang sesuai dengan transis lokasi kemiringan dan lereng-lereng alam.
8.        Konsepsi yang dikenal, yaitu Tri Loka (Tiga Dunia) dalam pelaksanaan pengaturan struktur pekarangan, yang terkait dengan kepercayaan adanya pandangan bahwa dunia atau alam semesta tesusun atas tiga bagian, yaitu Bhur, Bwah, Swah. Dalam diri manusia, pandangan ini menjelma ke dalam konsep Tri Angga (Tiga Badan) yang dapat terlihat dari pembagian daerah secara horizontal, yaitu bagian utama (hulu) tempat bangunan suci, halaman tengah, dan halaman luar.
9.        Penataan ruang tidak berlaku secara horisontal, namun vertical, dalam penentuan kesucian tempat diukur dari ketinggian yang diposisikan sebagai tempat yang disucikan. Konsep pengaturan secara vertikal ini berpola juga pada pembagian ruang di dalam rumah tampul roras, penempatan para-para yang strukturnya dibuatkan paling atas sebagai tempat pemujaan yang disucikan.
10.    Bangunan tampul roras dibuat di kawasan yang terisolir di daerah balik pegunungan terkait dengan aspek lingkungan yang tujuannya untuk alasan keamanan karena pada dasarnya masyarakat Bali Aga ingin mempertahankan dirinya, tidak mau tunduk kepada Majapahit. Hal ini terkait juga dengan keberadaan tempat pemujaan di dalam rumah, ada dugaan sengaja dibuat demikian untuk menjaga keamanan masyarakat penganut budaya Bali Aga  agar tidak menimbulkan kecurigaan orang di sekitarnya.
11.    Rumah dibuat dengan atap rendah dan minim ventilasi.
12.    Struktur bangunan tampul roras, terdiri atas beberapa bagian yang umumnya terdiri dari:
·         Bebaturan, terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang.
·         Dinding. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri disesuaikan potensi daerah yang dimiliki.
·         Tiang. Struktur dan kerendahannya hampir sama dengan daerah dataran yang umumnya disebut saka.
·         Pementang, balok yang membentang di tengah pengikat jajaran tiang fungsinya membentang dan menstabilkan lambang (balok di sekeliling rangkaian tiang tepi).
·         Raab (atap), sebagian besar dibuat dari bahan-bahan alam, alang-alang dan sirap bambu.
·         Keseluruhan konstruksi rangka membentuk satu kesatuan stabilitas struktur yang estetis dan fungsional. Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak tali ikatan.

Penduduk Bali Aga dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan animism dan dinamisme. Namun, pengaruh Majapahit pada abad ke-14 melalui Patih Gajah Mada dengan agama Siwa Budha-nya yang berkepentingan memasukkan agama tersebut berhasil mempengaruhi penduduk Bali dataran rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan kemudian mendirikan permukiman yang tidak terpengaruh oleh keyakinan Bali dataran rendah. Secara perlahan Agama Siwa Budha yang kemudian bertransformasi menjadi Agama Hindu Bali berhasil mempengaruhi seluruh kawasan Bali termasuk desa tradisionalnya.
Desa Bali Aga (Bali Apanaga), yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem, dan adat-istiadatnya, serta tidak atau sedikit pun kena pengaruh Majapahit. Desa-desa tradisional yang tergolong desa Bali Aga meliputi:
·           Desa Trunyan
·           Desa Tenganan
·           Desa Asak
·           Desa Sembiran
·           Desa Pinggan
·           Desa Pengotan
·           Dll.
 Desa Apanaga, yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa itu sebagian besar terletak di daerah Bali dataran di Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng dan Jembrana.



2.2.2 DESA PANGLIPURAN

Desa tradisional dengan ciri khas keseragaman angkul-angkul rumah dan kekayaan hutan bambu yang dilestarikan sebagai desa wisata.

Desa Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Kota Bangli sendiri telah berusia ± 793 th, sedangkan Desa Penglipuran ini terbentuk pada jaman Kerajaan Bangli. Masyarakat setempat mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari desa Bayung Gede, Kintamani.
Penduduk dari desa Kubu yang mondok dan bercampur dengan penduduk dari Bayung Gede tersebut, membentuk suatu pola menetap yang kecil dan diberi nama Penglipuran. Penglipuran berasal dari kata lipur yang berarti menghibur hati, jadi penglipuran memiliki arti tempat untuk menghibur hati. Pondok-pondok di daerah hutan sebagai tempat untuk menghibur hati sambil bekerja di ladang yang kemudian menjadi desa Penglipuran. Sementara para pemuka adat setempat menuturkan bahwa nama Penglipuran mengandung makna pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur. Konon, penduduk desa Penglipuran pernah diminta bantuannya oleh Raja Bangli untuk bertempur melawan kerajaan Gianyar. Karena keberaniannya, penduduk desa diberikan jasa oleh Raja Bangli berupa tanah yang lokasinya sekarang adalah desa adat Penglipuran.
Desa Penglipuran merupakan desa adat yang perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Bali Mula (Bali Apanaga), yaitu sebagai kebudayaan awal terlahirnya kebudayaan Bali. Memasuki jaman Bali Aga, kebudayaan dikembangkan dengan membentuk benda-benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Dilanjutkan dengan Bali Arya terjadi lagi pembaharuan di bidang budaya yang di antaranya adanya lontar-lontar Asta Bumi dan Asta Kosali sebagai pedoman teori pelaksanaan bangunan arsitektur tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Bali dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda pengaruh asing kembali menyentuh arsitektur tradisional Bali.
Pada masa Hindu-Majapahit, Penglipuran tidak terkena pengaruh karena letak desa ini jauh dari pusat kekuasaan ketika itu, yaitu Samprangan-Gianyar, maka pengaruh yang berkembang terasa lebih dinikmati oleh daerah-daerah dataran yang dekat dengan pusat pemerintahan. Dang Hyang Nirartha sebagai pemuka agama ketika merancang suatu bentuk bangunan suci baru yang dikenal sebagai padmasana, sebagai wujud fisik merupakan symbol pemersatu umat yang ketika itu terpecah dalam “kasta”. Baru pada tahun 1930 bangunan padmasana diterima oleh komunitas Penglipuran yang dibangun pada Pura Penataran (Rajin, mantan Jeo Bayan, wawancara: 1999). Sampai saat ini, belum semua pura pada masing-masing rumah tinggal memiliki padmasana, hal yang sama juga dijumpai di Desa Bayung Gede.
Nuansa arsitektur nontradisional “modern” baru merambah ke Penglipuran ketika pemerintah mulai membangun kawasan ini untuk pertama kalinya sebagai Taman Makam Pahlawan (pada saat revolusi, Penglipuran merupakan basis sekaligus bentang pejuang Bangli), kemudian dilanjutkan dengan sekolah, jalan, jaringan listrik, air bersih, telepon, dan sebagainya.

2.2.3 POLA DESA

Falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini.
Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa dari leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Secara garis besar pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut: 

2.2.3 POLA HUNIAN

Pola rumah pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari terbit dan tenggelam, yaitu timur “kangin” dan barat “kauh”. Poros tengah yang membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariannya difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang public “sosial”, dan prosesi ritual. Masing-masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih dapat saling berhubungan dari rumah di hulu sampai dengan di hilir melalui celah “peletasan”. Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajiner seolah-olah miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah “teben”.
Memasuki daerah kompleks hunian terdiri dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang tidur. Pada satu area rumah letak sanggah (pamerajan) selalu terletak pada sebelah Timur “kangin” bangunan karena merupakan tempat suci.

2.2.4 POLA PERMUKIMAN

Permukiman Desa Penglipuran berorientasi ke gunung “kaja” dan ke laut “kelod” yang membentuk pola linier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran yang linier ini mengikuti sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada. Akan tetapi, bila pola desanya dikaji Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986: 9), menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau mengelompok atau disebut juga memusat. Pada konsep desa ini, tercermin adanya konsep Kahyangan Tiga yang merupakan refleksi batas desa adat, dan merupakan transformasi nilai simbol dari Trilogi, yaitu lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa. Di samping itu, sebagai penanda orientasi hulu “kaja”, tengah, dan teben “kelod”, atau analogi tubuh manusia yang disebut dengan Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan nista, yang kebetulan terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali Aga yang berpolakan gunung dan laut.

2.2.4 Bentuk dan Bahan
Bentuk segi empat mendominasi pada bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian kepala bangunan. Setiap komplek hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung proporsi tubuh pemiliknya. Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi hunian merupakan pencerminan dari pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang tersedia di alam sekitarnya dan bentuk-bentuk yang sangat harmonis dengan lingkungannya adalah buah pemikiran leluhur yang luar biasa.

Bangunan Suci/Parahyangan
Pada bagian Parhyangan terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian ± 6 meter dengan bukaan kecil pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu masuk (entrance). Kori Agung ini memiliki tujuh anak tangga, bagian atas kori memiliki ornament dari berbagai jenis patra dan kekarangan, sehingga memberikan kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura Penataran terdapat pelinggih-pelinggih kecil, meru tumpang tiga, bale agung, gedong, dan bale panjang dengan bahan pada bagian kakinya menggunakan batu paras, bagian badannya menggunakan kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu.
Selain Kori Agung juga terdapat Candi Bentar sebagai pintu masuk ke areal pelinggih-pelinggih dalam pura. Warna dan bahan pada Candi Bentar memiliki kesamaan dengan Kori Agung, hanya saja bentuknya terlihat lebih kecil, bukaan yang menerus dan membelah Candi bentar menjadi dua bagian. Di sebelah timur Pura Penataran terdapat Pura Puseh yang bentuknya lebih sederhana, sedangkan Pura Dalem berada di area nista (selatan) berdekatan dengan kuburan, serta bahannya dari bahan alam (batu), namun bentuknya sangat sederhana hanya sebuah batu dengan lingkungan sekitarnya yang dibersihkan tanpa terdapat padmasana.

·           Bangunan Pawongan
Pada bagian pawongan terdapat hunian penduduk yang di dalamnya terdapat pura (merajan), dapur, ruang tidur, lumbung dan bale adat (bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian menggunakan sistem pondasi umpak (setempat) dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung, dan angkul-angkul desa sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet, dan tempat jual sovenir.
Jalan tengah desa (rurung gede), gang/jalan setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal pawongan, yaitu masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal perumahan dengan sarana dan prasarananya.

Pura (merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya menggunakan bahan kayu dan ada juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak menggunakan ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun genteng.
Bale Adat menggunakan balok dengan bentang 4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu yang kualitas bahannya dapat mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen, serta batu bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap bambu dengan bentang 4,6 m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan oleh kayu dan bambu adalah jenis sambungan pelana. 

Pada bagian dapur menggunakan balok dengan bentang ± 3 m, dengan besaran balok 10/10 dan tiang bambu, memakai bambu yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah tidak berpola dengan jenis tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap menggunakan bahan kayu dan sumbu yang berbentuk sirap, seng dan genteng.
Dapur difungsikan juga sebagai ruang tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari batu padas. Kolomnya memiliki bentang ± 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan adalah bujur sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan adalah anyaman bambu (bedeg), serta atap yang ditutup dengan sirap bambu.
Pada jineng (lumbung) menggunakan bilik dengan bentang ± 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang digunakan adalah 10/15. Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang horizontal dengan ketinggian dari tanah ± 1 m. Bahan atap terdiri dari rangka kayu dengan penutup atap seng, dengan bentang ± 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai dengan struktur kayu dan memiliki plafon dari bambu dipasang secara horisontal. Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu (bedeg) dengan kolom dari kayu yang berkualitas baik.
Selain bangunan hunian daerah pawongan terdapat pula “bale banjar” yang biasa digunakan untuk pertemuan warga dan untuk acara-acara kemasyarakatan. Memiliki bentangan balok ± 3,6 m, besar kolom 10/10 dengan kualitas bahan yang baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau tanah biasa yang dipadatkan dengan ketinggian lantai ± 60 cm, serta memiliki luasan 18 m2. Atap menggunakan bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya adalah perisai atau limasan dengan struktur dari kayu.
Sistem pondasi menggunakan pondasi umpak dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang antar kolom 1,5-2,5 m, besar kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk bujur sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini terdapat bale kul-kul, dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi untuk komunikasi nonverbal dengan masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale kul-kul adalah batu bata merah.
Pada daerah pawongan pada ujung paling selatan terdapat suatu lahan yang disebut “karang memadu/karang madu”, yaitu satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh Desa Adat, dan diperuntukan bagi krama desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu). Namun, sampai saat ini belum ada krama desa yang ditempatkan di Karang Memadu.

·           Bangunan Palemahan
Daerah palemahan terdapat beberapa bangunan antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom Mudita, wantilan dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan bambu. Bangunan wantilan yang terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada bagian lantainya menggunakan bahan traso serta bahan kayu digunakan pada bagian balok, kolom, dan struktur atapnya. Untuk penutup atapnya menggunakan seng, sedangkan bahan yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah.

Ujung selatan dari daerah palemahan terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra) untuk masyarakat Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat Penglipuran sangatlah penting, karena di desa Penglipuran tidak dilakukan prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah lain di Bali.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu kita hendaknya membangun rumah menurut Asta Kosala Kosali agar kita dapat Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, Mendapat vibrasi kesucian, menguatkan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. 





Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "[AGAMA HINDU] Konsep Bangunan Rumah Berdasarkan Asta Kosala Kosali"

Postingan Populer