BAB III
TAHAPAN
PENUGASAN
AUDIT DALAM RANGKA
FENGHITUNGAN KERUGIAN
KEUANGAN
Audit
dalam rangka penghitungan kerugian keuangan adalah audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan
untuk menyatakan pendapat mengenai nilai kerugian keuangan yang timbul dari suatu kasus
penyimpangan yang digunakan untuk mendukung tindakan litigasi. Menurut Standar
Kompetensi Kerja Nasional lndonesia Bidang Audit Forensik Tahun 2009
(SKKNI, 2009) audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan tersebut dilaksanakan dengan tahapan
sebagai berikut:
A. Melakukan Penelaahan
Informasi Awal melalui Ekspose.
B.
Mempersiapkan Penugasan, Pengumpulan dan Evaluasi
Bukti Audit.
C. Melakukan Penghitungan
Kerugian Keuangan Suatu Kasus/ Perkara.
D. Melakukan Pemaparan Hasil
Penghitungan Kerugian Keuangan.
E. Menyusun dan Mereviu Kertas
Kerja Audit dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan.
F. Menyusun dan Mereviu Laporan
Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan.
Uraian lebih rinci mengenai tahapan penugasan audit dalam
rangka menghitung kerugian keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
A.
MELAKUKAN PENELAAHAN INFORMASI AWAL MELALUI EKSPOSE.
1.
Penugasan audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan harus didasarkan pada permintaan instansi penyidik atau penetapan dari pengadilan.
2.
Penugasan harus didahului dengan
pemaparan/ekspose oleh pejabat !nstansi Penyidik.
3. Dalam hal ekspose tidak
dapat dilaksanakan karena adanya kendala seperti jarak yang jauh sehingga
memerlukan transportasi yang lama atau mahal, maka kepada lnstansi Penyidik diminta
untuk menyampaikan informasi awal dan daftar bukti-
bukti yang dikumpulkan guna
ditelaah dan ditentukan kelayakan dan kelengkapannya sebelum penugasan
audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan dilaksanakan.
4. Permintaan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan dapat
diberikan apabila simpulan hasil
ekspose atau hasil penelaahan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)
Penyimpangan telah cukup
jelas.
2) Pihak-pihak yang diduga terkait dan bertanggung
jawab atas penyimpangan telah cukup jelas.
3)
Bukti-bukti yang diperlukan
untuk menghitung kerugian keuangan sudah diperoleh secara lengkap.
4) Institusi/Unit Kerja Audit lainnya belum melakukan
audit investigatif atas perkara-yang sama.
5) Instansi Penyidik lainnya belum melakukan
penyelidikan/penyidikan atau pemeriksaan
atas perkara yang sama.
5. Dalam hal
kriteria pada angka 4 butir 1), 2) dan 3) tersebut di atas tidak terpenuhi tetapi kriteria butir 4) dan
5) terpenuhi, maka disarankan terlebih dahulu dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang
diminta oleh auditor guna melaksanakan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan.
6. Dalam hal kriteria pada angka 4
butir 1), 2) dan 3) terpenuhi tetapi kriteria butir 4) tidak terpenuhi, maka permintaan audit dalam
rangka penghitungan kerugian keuangan
tidak dapat dipenuhi (ditolak) dan disarankan agar pelaksanaan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan
dilakukan oleh Institusi/ Unit Kerja Audit berwenang lainnya. Pada prinsipnya terhadap satu kasus yang telah
dilakukan audit investigatif/audit
forensik dan telah diterbitkan Laporan HPSII Audit Investigatif/Forensik, maka atas kasus tersebut
tidak dapat dilakukan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan. Namun demikian, untuk kepentingan pelaksanaan tindak Ianjut hasil ekspose,
informasi tersebut perlu dikomunikasikan kepada pimpinan instansi penyidik bahwa:
1) Dalam hal hasil
penyelidikan/penyidikan tidak diperoleh tambahan data/buktI yang mempengaruhi jumlah kerugian keuangan, maka
jumlah kerugian keuangan
sebagaimana tercantum dalam laporan hasil audit investigasi/orensik
adalah bersifat final.
Penugasan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah penugasan pemberian
keterangan ahli.
2) Dalam hal hasil
penyelidikan/penyidikan memperoleh tambahan data/bukti yang mempengaruhi jumlah kerugian keuangan
sebagaimana yang tercantum dalam
laporan hasil audit investigasi/forensik, maka Pimpinan Institusi/ Unit Kerja Audit dapat menugaskan
auditor untuk melakukan penugasan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan yang didahului dengan permintaan dari pimpinan instansi penyidik. Jika
audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan tersebut di(aksanakan, maka pada saat menghitung kerugian keuangan
diawali dengan jumlah kerugian keuangan seperti termuat daiam laporan hasil audit investigasi/forensik ditambah
dengan bukti-bukti yang diterima
dari Penyidik.
7. Dalam hal kriteria pada angka
4 hanya butir 5) yang tidak terpenuhi, maka Pimpinan Institusi/Unit Kerja Audit menyarankan kepada
Pimpinan Instansi Penyidik atau Pejabat
yang melakukan penetapan pengadilan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi Penyidik atau Pejabat
yang melakukan penetapan pengadilan ben.venang lainnya
yang juga melakukan penyelidikan/penyidikan atau pemeriksaan perkara yang sama.
8.
Dalam hal berdasarkan hasil
ekspose ternyata kasus bersifat tidak material, maka audit dalam rangka
penghitungan kerugian keuangan tidak dapat dipenuhi tetapi Pimpinan Institusi/Unit Kerja Audit dapat
memberikan bantuan pemberian keterangan
ahli, baik untuk kepentingan penyidikan maupun persidangan.
9.
Dalam hal permintaan audit
untuk penghitungan kerugian keuangan atas penetapan pengadilan, penerimaan penugasan didasarkan pada hasil
penelaahan terhadap kecukupan
bukti-bukti yang sudah diperoleh pada saat persidangan perkara tersebut. Namun demikian, karena penetapan
pengadilan mempunyai kekuatan memaksa (harus dipenuhi) maka penelaahan tersebut
lebih ditujukan untuk menentukan langka h
lebih lanjut yang harus dilakukan oleh tim audit.
10.
Dalam setiap penelaahan atau
ekspose/pemaparan harus diciptakan komunikasi untuk memperoleh pemahaman yang sama terhadap
masaiah/kasus dan/atau perka ra yang dipaparkan.
11.
Penyampaian hasil ekspose dan saran atau penolakan melakukan audit dalam rangka Penghitungan Kerugian
Keuangan dituangkan da(am Risalah Ekspose dan secara formal dikirim melalui surat pemberitahuan
yang ditandatangani oleh Pimpinan institusi/Unit Kerja Audit ditujukan kepada Instansi Penyidik
atau Pejabat yang melakukan penetapan pengadilan.
B. MEMPERSIAPKAN PENUGASAN, PENGUMPULAN DAN EVALUASI BUKTI AUDIT.
1. Perencanaan dan Penetapan Lingkup Penugasan
1) Penugasan audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan harus direncanakan
secara memadai, dengan memperhatikan kompetensi (keahlian, keterarnnilan, dan perilaku), waktu, dan
ketersediaan dana untuk me(aksanakan penugasan.
2) Perencanaan penugasan harus disusun dan
dikembangkan serta membutuhkan pertimbangan profesional,
yaitu:
(1)
Mengidentifikasi tujuan dari penugasan;
(2)
Memperoleh pemahaman yang cukup atas kondisi penugasan dan
kejadiankejadian yang menunjang penugasan;
(3)
Memperoleh pemahaman yang cukup atas hal-hal yang berkaitan dengan
penugasan yang dilaksanakan (sebagai contoh, proses peradilan, hukum, peraturan, kontrak, ataupun
kebija kan yang berhubungan dengan penugasan);
(4)
Mengidentifikasi adanya pembatasan ruang lingkup penugasan akibat penolakan akses ataupun
tidak dapat diperolehnya informasi; dan
(5)
Mengevaluasi sumber daya yang dibutuhkan dan mengidentifikasi tim penugasan yang sesuai.
3) Dalam merencanakan lingkup penugasan, harus:
(1) Mengembangkan hipotesis,
dengan tujuan untuk iebih memahami kondisi dan konteks penugasan;
(2)
Mengidentifikasi pendekatan,
prosedur dan tehnik yang memungkinkan para auditor lebih memahami tujuan penugasan dalam keterbatasan waktu, biaya
dan ketersediaan informasi/data;
(3)
Mengidentifikasi sisi
finansial dan informasi lain yang berhubungan dengan penugasan, dan mengembangkan strategi untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan; dan
(4)
Menentukan dampak dari sifat
dan waktu pelaporan yang diperlukan.
4)
Penugasan harus menjaga
sikap independensi dan obyektivitas. Penugasan tidak dilaksanakan oleh auditor yang mempunyai konflik
kepentingan atau hubungan istimewa dengan pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap masalah, kasus, dan/atau perkara, atau apabila terdapat pembatasan yang
menghambat penyelesaian penugasan yang
tidak sesuai dengan standar profesional, aturan dan ketentuan yang berlaku.
5)
Penugasan harus dinyatakan
daiam Surat Tugas.
6)
Surat Tugas audit dalam
rangka penghitungan kerugian keuangan disampaikan oleh Pimpinan Institusi/Unit Kerja Audit dengan surat
pengantar yang ditujukan kepada Pimpinan
Instansi Penyidik atau Pejabat yang melakukan penetapan pengadiian. Dalam kondisi tertentu seperti adanya benturan
peraturan yang membatasi kewenangan auditor, Pimpinan
Institusi/ Unit Kerja Audit dapat meminta Pimpinan Instansi Penyidik atau Pejabat yang melakukan
penetapan pengadilan untuk menerbitkan
Surat Tugas dengan mencantumkan nama-nama auditor yang ditugaskan.
2. Pengumpulan Bukti
1)
Pengumpulan dan evaluasi
bukti ditujukan untuk menghindari risiko dari kemungkinan salah, bias, tidak dapat diyakini, dan atau
tidak lengkapnya buktibukti yang diperlukan.
2)
Dalam pengumpulan bukti, harus:
(1)
Mengkaji waktu yang
dibutuhkan, metodologi, prosedur dan tehnik yang digunakan.
(2)
Mengantisipasi untuk memperoleh
informasi yang berhubungan dengan fakta mengenai motivasi yang melatarbelakangi permasalahan (intent), penyembunyian (concealment), dan
pengonversian (convertion).
(3) Mempertimbangkan bahwa semua
informasi yang diterima adalah cukup, kompeten, dan relevan.
3) Auditor melakukan permintaan
dan pengumpulan bukti-bukti melaiui penyidik dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Permintaan data/bukti agar
dilakukan melalui surat permi ntaan tertulis yang ditandatangani oleh Pimpinan
Institusi/Unit Kerja Audit atau pejabat lain yang berwenang dan ditujukan kepada Pimpinan
Instansi Penyidik atau kepada penyidik terkait.
(2)
Materi permintaan data/bukti
dalam surat permintaan tertulis di atas agar menyebutkan jenis, nama, dan jumlah data/bukti yang
diperlukan, batas waktu
penyampaian data/bukti, serta dampak terhadap tugas perbantuan apabila
data/bukti tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Instansi Penyidik.
(3)
Apabila permintaan data/bukti
belum dipenuhi oleh lnstansi Penyidik, permintaan tertulis data/bukti agar disampaikan secara berturut-turut sampai dengan 3 (tiga) kali
dan diberikan batas waktu.
(4)
Apabila permintaan data/bukti
sampai dengan 3 (tiga) kali dalam batas waktu yang ditentukan tidak atau belum dipenuhi oleh Instansi Penyidik
yang bersangkutan Pimpinan
Institusi Audit melakukan koordinasi dengan Pimpinan Instansi Penyidik
di tingkat pusat.
(5)
Terhadap data/bukti yang
diterima dari Instansi Penyidik dibuat Daftar Penerimaan Bukti dengan
menyebutkan jenis, nama, dan jumlah data/bukti.
(6)
Dalam hal data/bukti yang
diterima berupa salinan atau copy, maka data/bukti tersebut harus dilegalisasi sesuai aslinya. Auditor harus meyakinkan diri bahwa data/bukti asli tersebut
telah disimpan secara aman oleh
pihak yang berwenang.
(7) Salinan atau copy data/bukti
harus dilegalisasi oleh pihak yang berwenang menyimpan data/bukti. Dalam hal data/bukti yang
asli menjadi berkas Penyidik, maka legalisasi
data/bukti dimintakan kepada Penyidik.
Bila diperlukan, Tim Audit
dapat mendampingi Penyidik daiam rangka memperoleh bukti-bukti yang diperlukan tersebut.
4) Dalam hal pengumpulan bukti
memerlukan bantuan teknis yang dimiliki ahli lain, maka dapat menggunakan tenaga ahli sesuai dengan
kebutuhan.
5)
Dalam hal menggunakan tenaga
ahii lainnya, harus ada pemahaman dan komunikasi yang cukup antara auditor dengan tenaga ahli tersebut untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan salah menafsirkan hasil
pekerjaan dan/atau informasi dari tenaga ahli tersebut.
6)
Tenik audit yang digunakan
dalam rangka penghitungan kerugian keuangan antara iain mencakup reviu dokumen, prosedur analitis, pengujian fisik, konfirmasi, observasi, wawancara, dan
rekonstruksi fakta berdasarkan yang diperoleh.
Penerapan teknik audit
tersebut dalam prosedur audit, serangkaian teknik audit dipilih untuk digunakan
guna mencapai tujuan audit sesuai dengan kasus yang ditemukan berdasarkan
pertimbangan profesional auditor.
3. Evaluasi Bukti
1)
Berdasarkan bukti-bukti yang
diperoleh dari Instansi Renyidik, auditcw-smelakukan prosedur dan teknik pengujian yang diperlukan
sesuai keadaannya. Bukti-bukti yang
diperoleh direkonstruksi sehingga menjadi rangkaian fakta dan proses kejadian yang menunjukkan adanya penyimpangan
yang mengakibatkan kerugian keuangan. Apabita terdapat bukti vang kurang,
auditor wajib meminta secara tertulis kepada penyidik untuk mencari bukti-bukti
yang diperlukan.
2)
Pengujian bukti-bukti harus
dilakukan terhadap seluruh data, bukti, dan informasi yang berkaitan.
3)
Dalam mengevaluasi bukti harus:
(1)
Mengidentifikasi, mengkaji
dan membandingkan semua bukti yang relevan dan pengutamakan hakekat daripada bentuk (substance over form), serta mengembangkan dan menguji
hipotesis dengan maksud untuk mengevaluasi permasalahan selama dalam penugasan.
(2)
Menjaga kesinambungan
penguasaan bukti (chain of custody) dan mengembangkan serangkaian pengawasan atas sumber, kepemilikan, dan penyimpanan semua bukti yang berkaitan dengan
penugasan.
(3)
Menetapkan suatu sistem pengendaiian dan prosedur intern
untuk mengamankan kerahasiaan,
integritas, dan keterjagaan semua bukti yang menjadi miliknya atau yang disusunnya selama dalam
penugasan bidang investigasi.
(4)
Membuat catatan tertulis atas
semua bukti relevan yang diterima secara lisan dan bukti hasil rekaman.
(5)
Mengevaluasi kebijakan dan
kekonsistenan dari semua estimasi dan asumsi berdasarkan kompetensi, keahlian auditor dan informasi
lainnya yang tersedia.
(6)
Mereviu semua bukti yang
diperoleh dan mempertimbangkan keterkaitan, keandalan, kebijakan, kelengkapan dan konsistensi bukti.
(7)
Mempertimbangkan dan merujuk
pada teori alternatif, pendekatan, dan metodologi yang dapat diyakini dan berhubungan dengan penugasan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan.
4)
Dalam melakukan evaluasi dan
analisis atas bukti-bukti yang diperoleh atau untuk memastikan kecukupan bukti-bukti dalam penugasan
audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan dapat dilakukan klarifikasi atau konfirmasi
4)secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait/bertanggung jawab.
Permintaan klarifikasi atau konfirmasi
disampaikan oleh auditor melalui penyidik dan pelaksanaan klarifikasi atau konfirmasi didampingi oleh
penyidik. Hasil klarifikasi atau
konfirmasi dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi (BAK).
5)
Pimpinan Institusi/Unit
Kerja Audit dilat-ang menerbitkan laporan hasil audit apabila dalam penugasan tersebut tidak diperoleh
bukti-bukti yang cukup, kompeten, dan relevan yang
dapat memberikan keyakinan yang memadai serta menjadi dasar untuk
semua pertimbangan dan simpulan hasil audit.
C. MELAKUKAN PENGH1TUNGAN
KERUGIAN KEUANGAN SUATU KASUS/PERKARA.
1.
Kerugian keuangan yang
dinyatakan pada Laporan Hasil Audit merupakan pendapat auditor yang didasarkan pada bukti-bukti yang
cukup, kompeten, dan relevan dengan pengungkapan penyimpangan yang terjadi.
2.
Kerugian keuangan merupakan
akibat dari suatu penyimpangan/ kecurangan (fraud) atau ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara
kerugian keuangan dengan penyimpangan.
Tuanakotta (2010) menyatakan
bahwa "...adanya keterkaitan antara kerugian dan perbuatan melawan hukum IPenyimpangan] atau ada
hubungan kausalitas antara kerugian
dan perbuatan melawan hukum".
3. Kerugian keuangan tersebut
dapat berupa:
1)
Pengeluaran suatu
sumber/kekayaan (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2)
Pengeluaran suatu
sumber/kekayaan lebih bes., dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.
3)
Hilangnya sumber/kekayaan
yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang
palsu, barang fiktif).
4)
Penerimaan sumber/kekayaan
lebih kecilirendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai).
5)
Timbulnya suatu kewajib,an
yar,g seharusnyaiidak ada.
6)
Timbulnya suatu kewajiban
yang lebih besar dari yang seharusnya.
7)
Hilangya suatu hak yang
seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.
8)
Hak yang diterima lebih kecil
dari yang seharusnya diterima.
4. Metode penghitungan kerugian
keuangan tersebut, sampai saat ini tidak diatur dalam standar audit yang ada, baik dalam Standar Audit
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
(SA APIP) yang diterbitkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
yang diterbitkan BPK RI, maupun Standar Profesional
Akuntan Publik yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Namun, sebagai salah satu bahan
referensi dalam menghitung kerugian
keuangan, Tuanakotta (2009) menjelaskan 6 (enam) metode penghitungan kerugian keuangan, yaitu kerugian total (total
loss), kerugian total dengan penyesuaian,
kerugian bersih (net loss), harga wajar, opportunity cost, dan bunga (interest) sebagai unsur kerugian keuangan. Penje►asan untuk masing-masing metode tersebut sebagai berikut:
1)
Kerugian totai (total loss).
Berdasarkan
metode totol loss, kerugian
merupakan seluruh jumlah yang dibayarkan
atau bagian penerimaan yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun seluruhnya.
2) Kerugian total dengan
penyesuaian.
Metode penghitungan kerugian
keuangan ini seperti dalam metode "kerugian total" dengan penyesuaian
ke atas. Penyesuaian ini dilakukan karena barang yang
dibeli harus dimusnahkan dan pemusnahannya mengeluarkan biaya.
3) Kerugian bersih (net
loss).
Metode
penghitungan kerugian keuangan ini seperti dalam rnetode "kerugian total'
dengan penyesuaian ke bawah. Metode ini diterapkan dengan argumen bahwa "barang yang
tidak sesuai spesifikasi yang telah diserahkan rekanan masih ada nilainya".
Dengan demikian, kerugian keuangan merupakan "kerugian total" dikurangi nilai bersih
barang tersebut.
4) Harga wajar.
Harga wajar menjadi
pembanding untuk "harga realisasi". Kerugian keuangan dari transaksi yang tldak
erv* a jar berupa selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalam pengadaan barang,
kerugian merupakan selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga wajar.
b. Dalam pelepasan aset berupa
penjualan tunai, kerugian merupakan selisih antara harga wajar dengan harga yang diterima.
c. Dalam pelepasan aset berupa
tukar guling (ruilslag), kerugian merupakan selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange
value).
5) Opportunity loss.
Metode opportunity cost digunakan
untuk menilai bahwa pengambil keputusan telah mempertimbangkan berbagai alternatif dan alternatif
yang dipilih adalah alternatif yang terbaik. Kalau ada kesempatan atau peluang untuk
memperoleh alternatif
yang terbaik, tetapi justru alternatif terbaik tersebut yang dikorbankan, maka pengorbanan
ini rnerupakan kerugian keuangan, dalam arti opportunity (oss.
6) Bunga (lnterest) sebagai
unsur kerugian keuangan.
Metode
ini mernpertimbangkan konsep nilai waktu dari uang (time value of money), sehingga bunga
dimasukkan sebagai unsur kerugian keuangan.
Sedangkan Lembaga
Administrasi Negara dan Departemen Dalam Negeri (2007), membagi metode
menghitung kerugian keuangan menjadi dua pendekatan pokok, yaitu:
1)
Pendekatan komponer. biaya.
Penghitungan kerugian
keuangan dengan menggunakan pendekatan komponen biaya dilakukan dengan cara mencari komponen
biaya yang belum atau tidak dilaksanakan.
2)
Pendekatan eksternalitas.
Eksternalitas merupakan
dampak yang diakibatkan oleh kegiatan terhadap pihak luar baik positif maupun
negatif. Eksternalitas yang terkait dengan penghitungan kerugian biasanya
menyangkut ekternalitas negatif. Contohnya jika pihak ke tiga membangun
sekolah dengan kualitas di bawah standar dengan cara mengurangi takaran semen yang digunakan
dari yang seharusnya 100 sak menjadi 60 sak. Kerugian keuangannya bukan saja selisih semen
yang 40 sak, tetapi juga kerugian lain yang diakibatkan dari rendahnya kualitas bangunan sekolah tersebut. Misalnya jika
akibat dari kurangnya semen itu bangunan roboh dan mengenai murid sekolah, maka
biaya pengobatan yang dikeluarkan dan santunan kepada korban termasuk kerugian keuangan.
Kerugian keuangan juga akan menjadi jauh lebih besar jika pihak orang tua murid menuntut
kerugian nonmaterial yang mereka
derita. Pendekatan eksternalitas ini cukup sulit diterapkan karena tidak semua eksternalitas dapat
dihitung/dinilai dengan uang, serta tidak semua pihak yang terkena dampak negatif tersebut
melaporkannya.
Deputi Investigasi BPKP (2009) menyatakan bahwa
metode penghitungan kerugian keuangan bersifat kasuistik dan spesifik sehingga harus dikembangkan
oleh auditor berdasarkan
proses bisnis dan jenis penyimpangan yang terjadi. Metode penghitungan kerugian
keuangan yang dikembangkan oleh auditor dalam lingkup profesi akunting dan auditing
tersebut harus dapat diterima secara umum.
D. MELAKUKAN PEMAPARAN HASIL PENGHITUNGAN KERUGIAN
KEUANGAN.
1. Sebelum laporan hasil audit diterbitkan, terhadap simpulan hasil
audit harus dilakukan ekspose/pemaparan
baik internal maupun eksternal dan dituangkan dalam Risalah Hasil Ekspose.
2. Tujuan dilakukannya
ekspose:
(1)
Ekspose internal, yaitu untuk
mendapatkan masukan dan keyakinan bahwa semua prosedur telah dilaksanakan, kriteria, dan bukti-bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan telah
diperoleh.
(2)
Ekspose eksternal, yaitu
untuk memperoleh keyakinan dan kesepahaman bahwa hasil audit telah didukung bukti-bukti yang cukup,
kompeten, dan relevan, serta memenuhi
aspek hukum, dan dapat ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangundangan.
3. Dalam pelaksanaan ekspose atas
hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
1)
Peserta ekspose internal
adalah auditor yang tercantum dalam Surat Tugas dan pejabat-pejabat/auditor-auditor
(ain yang ditunjuk/diundang oleh Pimpinan sesuai kebutuhan. Apabila dipandang perlu, unit kerja dari Institusi
Audit yang menangani masalah Hukum
dapat diikutsertakan dalam ekspose internal.
2)
Undangan ekspose internal
harus sudah disampaikan kepada para peserta ekspose selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebelum dilaksanakan
ekspose.
3)
Setelah ekspose internal,
Pimpinan Institusi/Unit Kerja Audit harus melakukan ekspose eksternal dengan Instansi Penyidik.
4)
Pelaksanaan ekspose eksternal
dengan Instansi Penyidik harus direncanakan dengan baik untuk menghindari risiko pembatalan ekspose.
5)
Peserta ekspose eksternal
dengan Instansi Penyidik adalah auditor yang ada di surat tugas/pejabat yang
ditunjuk/diundang dan pejabat Instansi Penyidik. Apabila dipandang perlu, unit kerja dari Institusi Audit
yang menangani masalah Hukum dapat diikutsertakan
dalam ekspose internal.
6)
Undangan ekspose dengan
instansi Penyidik ditandatangani oleh Pimpinan Institusi/Unit Kerja Audit dan harus sudah disampaikan
kepada para peserta ekspose selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sebelum dilaksanakan ekspose.
7) jika pada saat ekspose
ekternai atas hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan diperoleh bukti baru dari
Penyidik yang dapat menambah atau mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai
kerugian keuangan, maka auditor harus meyakini kebenaran bukti-bukti tambahan
tersebut dengan melakukan prosedur pengujian yang lazim sesuai
dengan keperivannya.
4. Hasil ekspose harus
dituangkan dalam Risalah Hasil Ekspose. Risalah Hasil Ekspose Eksternal
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari institusi/ unit kerja audit yang bersangkutan dan Instansi Penyidik. Risalah
hasil ekspose eksternal harus mencantumkan
kesepakatan bahwa nilai kerugian keuangan tidak berubah dan merupakan bukti materiil yang dapat digunakan
untuk bahan penuntutan kasus/perkara.
5. Risalah Hasil Ekspose internal maupun
eksternal harus memuat simpulan mengenai kecukupan bukti, prosedur dan teknik yang telah diterapkan dalam rangka
penugasan.
6.
Dalam hal hasil ekspose
menyimpulkan bahwa hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan masih memerlukan tambahan bukti-bukti,
maka Tim Audit segera membuat
daftar bukti yang diperlukan dan harus dipenuhi oleh Penyidik. Bila diperlukan, Tim Audit dapat
mendampingi Penyidik dalam rangka memperoleh bukti-bukti yang diperlukan tersebut.
7.
Dalam hal hasil ekspose
menyimpulkan bahwa hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan telah memadai dan bukti-bukti telah memenuhi aspek akuntansi dan aspek hukum, maka laporan
hasil audit dapat diterbitkan.
E. MENYUSUN DAN MEREVIU KERTAS KERJA AUDIT DALAM RANGKA PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN.
1.
Semua langkah-langkah kerja
dalam pelaksanaan penugasan audit daiam rangka penghitungan kerugian keuangan harus dituangkan dalam
Kertas Kerja Audit.
2.
Auditor harus
mendokumentasikan setiap hasil pengamatan, pertimbangan atau kesimpulan akhir dalam kertas kerja, termasuk
pertimbangan profesional atas hal tersebut. Hal yang penting adalah dokumen atau kertas kerja harus refevan
dengan temuan, pendapat dan simpulan
akhir.
3. Kertas kerja audit harus memuat
ikhtisar yang mendukung substansi materi dan angka-angka yang ada dalam laporan hasil audit. Kertas
kerja audit dikelompokkan dalam top schedule, lead
schedule, dan supporting schedule.
4. Kertas kerja audit harus memuat
atau mempunyai referensi untuk semua informasi yang digunakan meliputi dokumen-dokumen sebagai berikut:
1)
Informasi awal berupa surat
permintaan untuk melakukan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan dan resume dari penyidik
serta informasi Iainnya yang berhubungan
dugaan penyimpangan.
2)
Surat penugasan dan surat
menyurat lain;
3)
Dokumen perencanaan penugasan
termasuk program audit;
4)
Bukti-bukti pendukung;
5)
Laporan yang diterbitkan
termasuk konsepnya;
6)
Hasil analisis termasuk
metode dan teknik audit yang digunakan serta semua penjelasan yang perlu dalam rangka melaksanakan
program audit;
7)
Hasil wawancara atau berita
acara klarifikasi, catatan rapat dan diskusi Iainnya;
8)
Risalah Hasil Ekspose/Gelar Kasus dan Gelar Perkara;
9)
Hasil pekerjaan yang
dilaksanakan oleh pihak lain terutama yang berkaitan simpulan akhir;
10)
Audit dalam rangka
penghitungan kerugian keuangan yang dilanjutkan dengan penugasan pemberian
keterangan ahli, maka catatan identitas individu (curriculum vitae) pemberi keterangan ahli dan Laporan Hasil
Pemberian Keterangan Ahli (LHPKA)
dimasukkan sebagai bagian dari kertas kerja penugasan audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan
yang terkait;
5. Setiap auditor copies yang mempunyai nilai
signifikan harus dilegalisasi dan dicatat sumbernya serta dapat diidentifikasi tempat dan pihak yang bertanggung
jawab menyimpan/menguasai dokumen
aslinya.
6. Kertas kerja harus disusun secara
rapi dan teratur termasuk mencatat setiap referensi yang berkaitan dengan langkah kerja dan bukti-bukti yang
diperoleh dalam penugasan.
7. Setiap kertas kerja harus dilakukan reviu secara berjenjang untuk
memastikan bahwa kertas kerja telah disusun
dan memuat semua materi yang berkaitan dengan pelaksanaan program audit.
8.
Kertas kerja audit adalah
milik Institusi Auditor.
9.
Pimpinan Institusi/Unit
Kerja Audit harus menetapkan prosedur yang layak untuk menjaga keamanan kertas kerja dan menyimpan dalam
periode waktu yang cukup sesuai dengan kebutuhan
penugasan dan memenuhi ketentuan kearsipan serta dapat memenuhi persyaratan pada saat dilakukan reviu
sejawat.
10. Dalam hal pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
dengan pelaksanaan penugasan audit
memerlukan kertas kerja audit, maka kertas kerja audit tersebut dapat diberikan setelah mendapatkan ijin tertulis dari
Pimpinan Institusi Audit.
F. MENYUSUN DAN
MEREVIU LAPORAN HAS1L PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN.
Hasil audit dituang dalam Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan
Kerugian Keuangan.
Ketentuan penyusunan laporan tersebut diatur sbagai berikut:
1.
Laporan dibuat dalam bentuk
surat.
2.
Kulit muka (cover) berwarna merah dengan tulisan
berwarna hitam.
3.
Kulit muka (cover) memuat
logo Institusi Audit dengan nama/ identitas Institusi Audit/ Unit Kerja
Institusi Audit, judul laporan, serta nomor dan tanggal laporan.
4.
Penulisan judul laporan
difokuskan pada kasus atau perkaranya, tanpa menyebutkan nama pihak yang diduga terkait/bertanggung
jawab.
Contoh penulisan judul untuk
kasus terkait keuangan negara:
LAPORAN
HASIL AUDIT DALAM RANGKA PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA ATAS KASUS/PERKARA
.......(sebutkan tanpa menyebut
nama pihak yang diduga
terkait/bertanggung jawab) PADA .......(unit/satuan kerja) TAHUN .......(sesuai tahun kejadian)"
5.
Laporan disampaikan kepada
Pimpinan Instansi Penyidik yang meminta, dengan Surat Pengantar (SP) berkode Sangat Rahasia (SR).
6.
Auditor dilarang membahas
atau menginformasikan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan kepada pihak manapun selain
penyidik yang berwenang.
7.
Laporan memuat pokok-pokok
uraian sebagai berikut:
(1) Dasar Penugasan
(2) Ruang Lingkup Penugasan
(3) Batasan Penugasan
(4) Prosedur Penugasan
(5) Hambatan Penugasan
(6) Pengungkapan Fakta dan
Proses Kejadian
(7) Data dan Bukti-bukti Yang
Diperoleh
(8) Metode Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara
(9) Hasil Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara
(10) Lampiran-lampiran
Penjelasan masing-masing pokok uraian mengenai laporan penghitungan
kerugian keuangan adalah sebagai
berikut:
1) Dasar Penugasan
Dalam subjudul ini dijelaskan
d2sar penugasan, seperti:
a.
Surat Tugas dan Surat
Pengantar yang diterbitkan oleh Pimpinan Institusi/ Unit Kerja Audit.
b.
Surat permintaan untuk melakukan
audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan dari Pimpinan Instansi Penyidik.
c.
Risalah Hasil Ekspose/Gelar Kasus dari Instansi Penyidik.
2) Ruang Lingkup Penugasan
Dalam sub judul ini
diuraikan beberapa hal berikut:
a.
Tujuan penugasan, yaitu untuk melakukan audit dalam
rangka menghitung kerugian keuangan pada kasus
penyimpangan yang terjadi pada Obyek Penugasan.
b.
Ruang lingkup penugasan,
yaitu uraian mengenai sasaran audit yang mencakup kegiatan dimana terjadinya penyimpangan, periode terjadinya, dan
tempat dimana terjadinya
penyimpangan.
Contoh: (Jika kasus terkait dengan keuangan
negara) "Audit dalam rangka
penghitungan kerugian keuangan negara yang kami
laksanakan mencakup
kegiatan ....... (sebutkan
uraian/nomenklatur kegiatan) pada (nama organisasi)
tahun ................... ....... (periode terjadinya penyimpangan) yang diduga
terjadi
penyimpangan yang merugikan keuangan negara."
c. Batasan tanggung jawab penugasan, diuraikan dengan:
·
Pernyataan mengenai tanggung
jawab auditor dalam melaksanakan penugasan yaitu terbatas kepada
simpulan pendapat atas hasil audit dalam rangka
penghitungan kerugian keuangan.
·
Pernyataan mengenai
kecukupan bukti-bukti (cukup, relevan dan kompeten) yang diperoleh dari Penyidik dan digunakan untuk audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan.
3) Prosedur Penugasan
Dalam subjudul ini diuraikan
langkah-langkah audit yang diperlukan untuk mencapai tujuan penugasan seperti tersebut di
atas.
Langkah-langkah audit antara
lain mencakup reviu dokumen, prosedur analitis, pengujian fisik, konfirmasi, observasi, wawancara, dan
rekonstruksi fakta berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh.
4) Hambatan Penugasan
Dalam subjudul ini
disebutkan hambatan yang dihadapi dalam penugasan serta solusi yang sudah dilakukan dalam menghilangkan hambatan tersebut.
Dalam hal hambatan adalah berkaitan dengan
ketidakcukupan dalam memperoleh bukti, tidak
diperkeriankan untuk menerbitkan laporan hasil audit.
5) Pengungkapan Fakta dan Proses
Kejadian
Dalam subjudul ini
diuraikan secara terinci dan jelas fakta-fakta dan proses kejadian berdasarkan bukti-bukti yang cukup, relevan dan
kompeten yang diperoleh dari/ melalui
penyidik. Pengungkapan fakta dan proses kejadian merupakan rekonstruksi secara kronologis berdasarkan urutan kejadian
berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh. Pengungkapan
uraian fakta dan proses kejadian harus memperhatikan prinsip obyektivitas dan tidak memihak (impartial manner). Untuk pengungkapan pihak-pihak yang terkait/bertanggung jawab pada uraian fakta dan
proses kejadian tidak menggunakan kode atau inisial.
Pengungkapan fakta dan
proses kejadian tersebut akan sangat berguna dalam mengkaitkan antara unsur-unsur penyimpangan
dengan metode yang cligunakan auditor dalam menghitung kerugian keuangan
negara/daerah.
6)
Data yang dipergunakan untuk
Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan.
Dalam subjudul ini diuraikan
data dan bukti-bukti yang diperoleh dan dipergunakan untuk penghitungan kerugian keuangan. Apabila data
atau bukti-bukti yang diperoleh tidak lengkap agar
dimintakan kembali secara tertulis kepada Instansi Penyidik.
7)
Metode Penghitungan Kerugian
Keuangan
Dalam subjudul ini diuraikan
bahwa berdasarkan pengungkapan fakta dan proses kejadian serta data/bukti-bukti yang diperoleh
sebagaimana disebutkan dalam butir 5 dan butir 6, maka dilakukan penghitungan kerugian
keuangan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh auditor dalam lingkup
profesi akunting dan auditing dan
harus dapat diterima secara umum.
Catatan: Metode penghitungan
berbeda dengan prosedur audit.
8)
Hasil Audit Dalam Rangka
Penghitungan Kerugian Keuangan
Dalam subjudul ini diuraikan
bahwa s.esuai dengan metode sebagaimana disebutkan dalam butir 7, diperoleh hasil penghitungan
kerugian keuangan.
Hasil penghitungan kerugian keuangan diuraikan secara rinci dan jelas. Pengungkapan jumlah kerugian keuangan harus
dikaitkan dengan fakta dan proses kejadian, sehingga tidak hanya mengungkapkan jumlah
kerugian keuangan tetapi juga dapat mengidentifikasi
pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari terjadinya kerugian keuangan tersebut.
9)
Tindak Lanjut Hasil Audit
Dalam subjudul ini dimuat
tindak lanjut yang telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait/bertanggung jawab yaitu berupa
pengembalian/penyetoran atas kerugian keuangan tersebut ke Kas Negara/Daerah atau Kas BUMN/BUMD atau Organisasi
lain yang dirugikan atau
berupa pengenaan sanksi administratif yang telah dilaksanakan sebelum audit dalam rangka penghitungan
kerugian keuangan atau sebelum laporan hasil audit terbit.
Dalam hal bukti-bukti
pengembalian/penyetoran tersebut sangat banyak sehingga tidak memungkinkan untuk disajikan dalam badan
laporan, maka dibuat daftar yang
menjadi lampiran laporan hasil audit.
10) Lampiran-lampiran
Dalam hal diperlukan rincian
lebih lanjut mengenai Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan dapat disajikan dalam lampiran.
Penandatanganan
Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan pada halaman
terakhir sebelum lampiran, adalah sebagai
berikut:
"Demikian laporan
hasil audit dalam rangka penghitungan
kerugian keuangan dibuat untuk dapat digunakan sesuai keperluan."
...... (tempat), ...... (tanggal,
bulan tahun)
Mengetahui: Tim Audit,
Pimpinan Institusi/ Unit Kerja Audit, 1. ..... ( jabatan) ,
Ttd Ttd
…………………(nama) …………………
(nama)
NIP. ……………………
NIP.
...............
2.
………. (jabatan),
Ttd
................ (nama)
NIP. ..................
dst.
(Sesuai
surat tugas)
DAFTAR PUSTAKA
Deputi
Bidang Investigasi BPKP, 2009. Pedoman PengeIolaan Bidang lnvestigasi tahun 2009. Jakarta.
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.46/MEN/I1/2009 tentang Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik.
Tuanakotta,
Theodorus M., 2009. Mengitung kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Salemba
Empat. Jakarta-.
Tuanakotta,
Theodorus M., 2010. Akuntansi
Forensik dan Audit lnvestigatif. Salemba Empat. Edisi kedua. Jakarta.
Belum ada tanggapan untuk "AUDIT DALAM RANGKA FENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN"
Post a Comment