Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
karena martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau
negara. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang
sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang sama.
Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia adalah memepertahankan hak-hak manusia
dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
aparat Negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi
manusia yang multidimensional. ( Szabo, dlm. Vasak, Unesco Courier, 1997,
vol.1, hal 11.)
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat
dibedakan antara an mordefinisi yuridis, politis, ddalam deklarasi politik
adalah Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada bulan Desember 1948.
Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 1945, Ketetapan no.II/MPR/1978 disatu
pihak dan Deklarasi Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de
facto para pendiri bangsa ( Founding Father) yang merumuskan UUD 1945 tidak mau
memasukkan apa yang termuat dalam Deklarasi Universal karena apa yang termuat
didalamnya dirasa tidak sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.
HAM sebagaimana yang dipahami didalam dokumen-dokumen hak
asasi manusia yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi Universal,
mempunyai sejumlah cirri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan
gagasan yang sudah tegas sebagai hak. Kedua, hak-hak ini dianggap universal,
yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Salah satu
ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah
bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada
dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam
system adat atau system hukum dinegara-negara tertentu. Keempat, hak asasi
manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana dalam deklarasi itu adalah
sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie right. Kelima,
hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah.
Secara eksplisit hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai
hak-hak warga Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu
saja dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa orde baru, semangat dan jiwa yang
bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen mendorong pengurus MPRS untuk mengadakan langkah-langkah guna
membenahi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan
oleh G 30 S/PKI.
Hak-hak warga Negara di Indonesia diakui dan dijunjung
tinggi tetapi dalam kerangka solidaritas Indonesia, dalam konteks gotong
royong. Masalah-masalah yang tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks,
baik secara teoritis maupun yuridis terdapat tiga macam pandangan:
- Kelompok
yang pertama berpendirian : Indonesia dengan ideology Pancasila menjunjung
tinggi kemanusiaan, keadilan, dan peradaban. Kecuali itu UUD 1945 secara
eksplisit menjamin sejumlah hak fundamental untk para warga Negara.
- Kelompok
yang kedua : Menentang HAM, sebab menurut mereka HAM menyusahkan
penyelenggara pemerintahan yang beriktikad baik.
- Kelompok
yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka menunjukkan adanya fakta yang
membuktikan adanya pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan
rakyat akan hak-hak fundamental mereka.
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan sebenarnyja
baru menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia
lainnya. Rumusan hak-hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk
membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan
keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh suatu Negara diakui secara hukum
dapat dirumuskan dan dibagi menjadi dua kategori:
1. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga Negara).
2. Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.
Masa Orde Baru
1. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga Negara).
2. Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.
Masa Orde Baru
Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum
bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di
kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai
kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan
demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi
ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan
keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak
lahirnya Orde Baru .
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru tersebut berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar. Dalam beberapa aspek, HAM terjamin. Tetapi dalam beberapa
aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik
memang ada dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak
ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan
pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan
Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi
pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang
diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM.
a. kekuasaan pemerintah yang absolute
a. kekuasaan pemerintah yang absolute
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta
kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan
sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto
didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi
Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan
Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto
mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan
kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan
dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan
nepotisme.
b. rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah
satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk
kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika
tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap
tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh
lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan.
Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar
tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap
pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan
nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan.
Hutang negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia
tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu,
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa
perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya
produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara
tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu
berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap masyarakat.
c. Lemahnya fungsi lembaga perwakilan
rakyat
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu
keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini,
aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah.
Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan
seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa
agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
d. Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru
selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah
ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat
untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat
langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
- semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme,
- pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat,
- munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua,
- kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
- bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin),
- kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan,
- kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel,
- penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius” (petrus), dan
- tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya).
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah.
Berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara
—-termasuk teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi
terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM
yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang
besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan
negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi
masyarakat.
Periode Reformasi
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya
krisis moneter tahun 1997 . Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan
utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi
Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi
masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup
ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM justru
semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa
kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.
a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi
sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah
terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak
hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan
instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang
lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan
kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada
meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi,
sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang
pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan
hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum
miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua,
diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial
berpihak pada kelompok miskin
b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah
Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga
2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu
mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21
tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004
yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh
sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah
mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi
“perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering
dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut
ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan.
Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran.
Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat
pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari
angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi
700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka
pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan
Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar
10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%.
Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari
seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di
antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum
terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja
lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali
diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan
tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang
Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang
Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja
(RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti
melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK.
Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin
jauh dari realitas.
c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara
detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan
Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa
malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan
kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama
puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga
internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati
kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia,
Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi,
angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat
pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya,
lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus
busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga
menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan
kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus
malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam
sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui
terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan.
Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak
beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan
pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah
satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005.
Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya
belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi,
dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde
Lama (1959-1965)
Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan
BPK masih dalam bentuk sementara, belum berdasarkan undang-undang sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945.
Beberapa
penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
a. Presiden selaku pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan ketentuan
perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa
persetujuan DPR.
b. Melalui
Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus 1959
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik
Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
c. MPRS
mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan
dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian
presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
d. Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh
presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
e. Pimpinan
lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk pimpinan MPR
kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.
f. Demokrasi
yang berkembang adalah demokrasi terpimpin.
g. Berubahnya arah
politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah
satu blok.
Beberapa
penyimpangan tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD
1945, memburuknya keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai
puncaknya pada pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan
oleh kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.
Belum ada tanggapan untuk "Penyimpangan HAM pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi"
Post a Comment